HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Health Safety, Health, & Environtment

Perpres No 07/2019 Membingungkan Dokter?

JAKARTA, HSEmagz.com – Peraturan Presiden (Perpres) No 07 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang diundangkan pada 29 Januari 2019, dinilai membingungkan. Bahkan berpotensi menyulitkan para dokter serta praktisi kesehatan kerja di lapangan.

Pasalnya, selain melampirkan jenis penyakit akibat kerja dan pajanannya jauh lebih banyak dari peraturan sebelumnya (Keppres No 22 tahun 1993), ada beberapa jenis PAK yang dinilai bias dan membingungkan.

Ihwal ini diungkap dr M Arief Novianto, MKK, SpOK dari PERDOKI. “Dibandingkan dengan aturan sebelumnya, Perpres ini memang lebih lengkap dan lebih detail.  Tetapi Perpres ini harus segera diikuti dengan juklak-juklak, juknis-juknis. Jika tidak, akan menyulitkan dan membuat bingung para praktisi kesehatan kerja di lapangan seperti saya,” kata dr M Arief Novianto, MKK, SpOK ketika diminta tanggapan atas diundangkannya Perpres No 07/2019 tentang PAK.

Konsultan kesehatan kerja di beberapa perusahaan ini mencontohkan jenis PAK berupa penebalan siku (olecranon bursitis) karena tekanan berkepanjangan. Di bagian lampiran Perpres No 07/2019, olecranon bursitis  dikategorikan sebagai jenis PAK kategori II yaitu penyakit berdasarkan sistem target organ, sub kategori IIc gangguan otot dan kerangka.

“Penebalan pada daerah siku saja dikategorikan sebagai PAK. Ini menurut saya jadi bias. Penebalan pada siku terkait misalnya dengan posisi duduk kah atau pekerjaannya yang memang mengharuskan merangkak kah, dsb. Di sisi lain, penebalan siku juga bisa disebabkan oleh aktivitas di luar tempat kerja. Ini akan menyulitkan para praktisi kesehatan kerja. Kok bisa menentukan klasifikasi penyakit akibat kerja semisal penebalan siku, dasarnya apa?” katanya.

dr M Arief Novianto, MKK, SpOK

Membuat klasifikasi dan menentukan PAK, kata dr M Arief, tidak semudah itu. “Kita harus tahu dia pekerjaannya apa, kapan dia bekerja, berapa lama dia bekerja, hazard di tempat kerja apa, apakah dosis hazard bisa menimbulkan PAK atau tidak, apakah pekerja itu punya kebiasaan-kebiasaan individu yang menunjang gangguan kesehatan kerja yang dideritanya, dsb,” dr M Arief menjelaskan.

Menurutnya, jenis PAK yang selama ini dikenal sebanyak 31 jenis dan terbagi dalam lima kategori penyebabnya saja (sebagaimana diatur dalam Keppres No 22/1993) hingga kini belum selesai dikaji. Apalagi dengan tambahan berbagai macam penyakit yang jumlahnya 88 jenis PAK dan pajanannya sebagaimana diatur dalam Perpres No 07/2019.

“Kita sendiri di spesialis Okupasi Kerja membagi menjadi lima bagian besar terkait hazard kerja (penyebab PAK) yaitu fisika, kimia, biologi, fisiologi/ergonomik, dan psikososial. Itu saja belum dikupas secara tuntas. Itu saja belum tahu bahwa penerangan seberapa yang bisa menimbulkan gangguan penglihatan. Apalagi ini ditambah dengan berbagai macam penyakit. Di sisi lain, apakah PAK ini masuk dalam klasifikasi klinis yang sekarang ini kita tahu atau tidak. Nah semua aspek itu harus tersinkron. Jangan karena Perpres baru tentang PAK ini sudah terbit dan diundangkan,  oh sudah selesai. Tidak begitu,” dr M Arief Novianto, MKK, SpOK menambahkan.

Selain akan membuat bingung dan menyulitkan para praktisi kesehatan kerja di lapangan, sambung dr M Arief, banyaknya jenis PAK dan pajanannya itu akan menimbulkan ‘phobia’ tersendiri bagi kalangan pekerja.

“Ketika merasa mengalami gangguan kesehatan dan mendapatkan informasi tentang PAK dari Perpres ini, si pekerja itu akan berpikir ; oh jangan-jangan ini PAK. Dampaknya secara psikologis, si pekerja akan dihantui rasa was-was berlebihan ketika sedang bekerja; jangan-jangan apa yang dikerjakannya akan berdampak pada PAK. Karena itu, Perpres No 07/2019 harus segera diimbangi dengan mekanisme edukasi dan sistem diagnosa PAK secara tepat, selain juklak dan juknis tadi,” imbau dr M Arief. (Hasanuddin)

LEAVE A RESPONSE