Taborai, Tablet Pemurni Minyak Jelantah Hasil Inovasi Mahasiswa Unpad
JAKARTA, hsemagz.com – Sadarkah Anda jika kita setiap hari memroduksi sampah dari makanan yang dikonsumsi? Volumenya ternyata sangat mencengangkan.
Sampah makanan (food waste) menjadi jenis sampah terbesar di Indonesia. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 199 kabupaten/kota.
Di kota Jakarta, misalnya, merujuk data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta pada tahun 2011, masyarakatnya menghasilkan sampah seberat 7.500 ton setiap harinya.
Lebih dari 54 persen di antaranya atau sekitar 4.050 ton sampah itu berupa sampah makanan. Dengan kata lain, sampah makanan yang diproduksi masyarakat kota Jakarta dalam setahun mencapai rata-rata sekitar 1,46 juta ton.
Kondisi ini meningkat menjadi 2,13 juta ton/tahun di tahun 2022. Sedangkan di Surabaya, sampah makanan mencapai 440.593 ton per tahun berdasarkan data tahun 2020.
Sampah makanan tak hanya sisa makanan yang sudah dikonsumsi (food waste), tetapi juga sampah (bahan) makanan yang berada di tahap produksi (food loss).
Penelitian Bappenas (2021), potensi sampah yang dihasilkan dari makanan yang terbuang sebelum diolah (food loss) dan sampah makanan (food waste) di Indonesia pada tahun 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-184 kg perkapita per tahun.
Kerugian ekonomi akibat makanan terbuang, berdasarkan kajian Bappenas itu, mencapai Rp213 triliun hingga Rp551 triliun/tahun. Kontribusi besar terbuangnya makanan berasal dari hotel, restoran, katering, supermarket, dan masyarakat yang gemar menyisakan makanannya.
Sampah makanan berupa food waste bersumber dari rumah/warung makan, hotel, supermarket, katering, dan rumah tangga.
Penyumbang terbesar sampah makanan berasal dari rumah tangga. Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2011 mencatat dari total sampah di Jakarta, 65 persennya berasal dari perumahan/rumah tangga.
Salah satu food loss adalah minyak jelantah, yang merupakan limbah dari minyak sisa penggorengan.
Menurut AS Suroso (2013) dalam artikelnya bertajuk Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari Bilangan Peroksida, Bilangan Asam dan Kadar Air dalam Indonesian Pharmaceutical Journal 3(2):77–88, minyak jelantah merupakan minyak yang sudah mengalami oksidasi akibat kontak antara oksigen dan air pada waktu yang lama dan pemanasan suhu tinggi. Oksidasi minyak akan menghasilkan asam amino bebas dan senyawa peroksida.
Senyawa peroksida akan menyebabkan rasa dan bau tengik pada minyak serta perubahan warna, dimana bilangan peroksida sebesar 5,15 akan membuat minyak menjadi cokelat dan sebesar 7,89 akan membuat minyak menjadi hitam.
Menurut Nariswari R, mahasiswi Teknologi Pangan Universitas Padjadjaran (Unpad), masyarakat memiliki perilaku kurang tepat dalam hal penggunaan minyak goreng. Masyarakat, katanya, biasa menggunakan minyak goreng secara berulang.
“Kebiasaan menggunakan minyak goreng yang berulang akan menurunkan kandungan nilai gizi, menimbulkan perubahan warna, aroma, dan sifat kimia serta fisika lainnya. Hal tersebut diperparah dengan melambung tingginya harga minyak goreng di masyarakat sehingga minyak jelantah tetap dipakai dengan alasan harga yang lebih terjangkau dan tidak merasa rugi. Makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah cenderung sulit untuk diidentifikasi karena tampilan makanan tidak berbeda jauh dengan makanan yang digoreng dengan minyak yang baru,” kata Naris, mahasiswi Teknologi Pangan Unpad angkatan 2021.
Sebagai limbah, minyak jelantah menjadi problem tersendiri di masyarakat. Pembuangan limbah minyak jelantah secara sembarangan dapat berbahaya bagi lingkungan dan juga kesehatan manusia.
Bahaya yang ditimbulkan dari limbah minyak jelantah ada beragam rupa semisal rusaknya ekosistem perairan, mencemari tanah, dapat menyumbah saluran air, dan penyakit jantung.
Persoalannya, hingga saat ini belum ada data tentang berapa banyak volume limbah minyak jelantah yang dihasilkan masyarakat.
Namun menurut data Statista (2022), Pada tahun 2022, angka konsumsi minyak goreng di Indonesia mencapai rata-rata 24,47 kg/kapita dengan prediksi mengalami peningkatan secara kontinu sebanyak 3,8 kg dalam periode 10 tahun ke depan.
Kalangan industri olahan makanan selama ini menggunakan mesin filtrasi (lazim disebut mesin peniris) untuk membuat minyak jelantah kembali menjadi bersih.
Sebagaimana diungkap Era Hamdani, salah satu pelaku industri kuliner, penggunaan mesin filtrasi dalam industri catering banyak digunakan.
“Masuk mesin (filtrasi), minyak jelantah akan keluar dalam kondisi bersih kembali,” katanya.
Menurutnya, penggunaan mesin filtrasi di industri catering dilakukan selain memangkas biaya produksi juga untuk mengatasi limbah minyak goreng.
Era mengilustrasikan, sebuah perusahaan catering bisa memroduksi 12 ribu porsi makanan dalam sehari.
“Bayangkan dalam sehari sebuah perusahaan catering bisa memroduksi 12 ribu porsi. Berapa banyak minyak goreng yang digunakan? Kalo ndak pake mesin peniris ‘boncos’lah biaya minyaknya,” katanya.
Namun menurut Nariswari, penggunaan mesin filtrasi memang efektif untuk memurnikan minyak jelantah. Hanya saja, harga mesinnya itu sendiri terbilang mahal dan dinilainya kurang praktis.
Beranjak dari persoalan harga dan kepraktisan tersebut, Nariswari bersama teman-temannya di Unpad, melakukan kajian dan penelitian tentang bagaimana memurnikan minyak jelantah dengan harga terjangkau masyarakat dan praktis digunakan.
Setelah melakukan berbagai percobaan, ia dan teman-temannya lantas melakukan inovasi berupa tablet pemurnian minyak jelantah yang kemudian diberinama Taborai.
“Taborai merupakan produk pemurni minyak goreng bekas (jelantah) berbentuk tablet dengan kandungan arang aktif dari bonggol jagung melalui parameter kontrol konsentrasi dan lama kontak yang dapat mengurangi senyawa hasil proses oksidasi penyebab ketengikan oksidatif pada minyak goring,” katanya.
Dikatakan, Taborai merupakan produk tablet pemurni minyak dengan kandungan utama arang aktif bonggol jagung dan ekstrak serai yang mampu mengurangi dampak degradasi minyak terhadap kualitas akibat penggorengan berulang.
Taborai dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan akibat limbah minyak goreng. Selain itu, penggunaan Taborai juga dapat menekan pengeluaran biaya akibat pembelian minyak goreng yang berlebihan.
“Produk ini dikombinasikan dengan tepung kanji dan serai. Tepung kanji berperan sebagai pengikat sehingga proses pemisahan minyak yang telah dimurnikan dapat dilakukan dengan lebih mudah serta mengurangi kandungan asam lemak bebas agar lebih aman digunakan. Sedangkan, serai berperan sebagai senyawa antioksidan yang dapat menghilangkan bau tengik pada minyak,” pungkasnya. (Hasanuddin)