Oleh: Dr dr Sudi Astono, MS*)
JAKARTA, hsemagz.com – Akhir -akhir ini publik di Indonesia dikejutkan dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi di salah satu wahana wisata di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dalam peristiwa yang terjadi pada Rabu (25/10/2023) pagi itu, seorang wisatawan meninggal dunia dan tiga wisatawan lainnya menderita luka setelah jembatan kaca yang mereka injak di wahana wisata Jembatan Kaca The Geong, pecah.
Kasus kecelakaan fatal di area publik atau fasilitas umum seperti yang terjadi di wahana wisata Jembatan Kaca The Geong, bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya sudah banyak peristiwa serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Sebut misalnya kasus kematian seorang wanita di Bandara Kualanamu, Medan, Sumatera Utara. Wanita itu meninggal dunia setelah terperosok ke celah antara lift dan lantai pijakan.
Lalu ada kebakaran gedung-gedung perkantoran, pasar, hotel, atau restoran/rumah makan. Ada juga kasus ambruknya dinding bangunan di Mall Margo City Depok akibat ledakan di area tenan/restoran yang menewaskan seorang karyawan suatu restoran dan beberapa mengalami luka bakar, ledakan di Mal Taman Anggrek, dan keracunan gas berbahaya pada karyawan supermarket di kawasan Harmoni Jakarta. Kecelakaan serupa juga banyak terjadi di area sekolah dan area-area publik lainnya.
Kasus yang sangat tragis dan memilukan tentu saja kasus kecelakaan atau tragedi yang terjadi di stadion sepakbola Kanjuruhan di kota Malang, Jawa Timur. Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 2022 tersebut mengakibatkan 132 penonton meninggal dunia dan 622 penonton lainnya menderita luka.
Berbagai peristiwa itu menunjukkan bahwa masih pentingnya peningkatan pemahaman kesadaran dan pembudayaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di setiap aspek aktivitas kehidupan kita di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Dari aspek regulasi keselamatan, sebenarnya kita sudah memiliki berbagai peraturan perundangan, di antaranya adalah Undang-Undang (UU) No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Namun masih banyak yang belum menyadari ataupun memahami tentang pentingnya K3.
UU No 1/1970 tentang Keselamatan Kerja yang mengatur K3 selama ini lebih dipahami dan dilaksanakan di tempat-tempat kerja yang nota bene dikenal dengan industri atau perusahaan. Padahal risiko kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja tidak hanya mengancam para pekerja dan orang lain di tempat kerja tersebut, tetapi juga di area-area publik seperti berbagai kasus kecelakaan yang disebutkan di atas.
UU No 1/1970 mengamanatkan agar setiap tempat kerja, juga pengurusnya atau penanggung jawabnya, melakukan upaya-upaya pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan kerja, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk melindungi pekerja maupun orang lain yang ada di tempat kerja dan juga tentunya untuk melindungi fasilitas usaha atau fasilitas produksi di tempat kerja dan juga bisa melindungi dampak lingkungan dari suatu tempat kerja.
Dalam hal ini kita perlu meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya memperhatikan dan menerapkan K3, termasuk juga bagaimana meningkatkan budaya K3. Budaya K3 terkait dengan karakter dan perilaku dalam beraktivitas agar menerapkan atau mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan. Untuk memiliki karakter dan pemahaman dan perilaku yang berwawasan K3, tentunya perlu pemahaman.
Di sini lah pentingnya sosialisasi, edukasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya membudayakan K3, harus terus dilakukan semua pihak. Adapun peran dan fungsi dari pemerintah, yaitu selain membuat dan mengembangkan regulasi dan standar dalam K3 di berbagai aspek atau di berbagai tempat kerja, tentu juga harus ada penguatan dalam pengawasannya, termasuk dalam penegakan hukumnya. Jadi, kalau regulasi sudah dikeluarkan, sudah diterbitkan dan disahkan, tentunya selain disosialisasikan dan diedukasikan, juga harus dilakukan pengawasan apakah regulasi itu diterapkan atau tidak.
Dalam sistem pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia, sosialisasi dan pengawasan dalam perlindungan K3 sebagai bagian dari perlindungan ketenagakerjaan, dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Namun dalam hal ini kita perlu sadari bahwa jumlah pengawas ketenagakerjaan tentunya tidak akan mencukupi untuk mengawasi seluruh tempat kerja di seluruh Indonesia, yang jumlahnya lebih dari 26 juta.
Pasti tidak akan sebanding untuk itu, maka peran pengawasan tidak hanya secara langsung dilakukan oleh pengawas, tapi juga ada pengawasan tidak langsung yaitu melalui peran-peran dari stakeholder. Tentunya setiap fasilitas, setiap tempat kerja, penanggung jawab tempat kerjanya, yang mana di dalam UU No 1/1970, di situ harusnya minimal ada seorang ahli K3.
Di sisi lain, setiap sektor usaha pasti ada kementerian atau lembaga pengampunya. Di sini pentingnya bahwa kementerian lembaga di luar kementerian ketenagakerjaan harus memiliki fungsi agar sektor-sektor usaha di bawah pembinaannya juga lebih mendorong penerapan prinsip-prinsip usaha atau prinsip-prinsip bisnis yang juga mengedepankan aspek K3.
Tak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat secara umum. Apabila masyarakat terus menerus mendapatkan sosialisasi, edukasi, dan pemahaman akan pentingnya K3, maka upaya mendorong pembudayaan K3 di Indonesia akan lebih cepat dan meluas di berbagai kalangan. Penerapan dan pemahaman prinsip-prinsip K3 bukan milik atau tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang selama ini bertugas dan bertanggung jawab di bidang K3 saja. tetapi seluruh unsur masyarakat juga harus berperan serta dalam pembudayaan K3. (bersambung)
*) Penulis adalah praktisi K3, dokter kesehatan kerja, pengawas ketenagakerjaan, dan dosen tidak tetap Prodi K3 di Politeknik Ketenagakerjaan.