HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Transportation

Perlintasan Sebidang, Masalah Klasik yang Tak Kunjung Terselesaikan

JAKARTA, hsemagz.com –Sebelas dari 15 penumpang minibus Isuzu Elf bernomor polisi N 7646 T, meregang nyawa saat kendaraan itu dihajar KA Probowangi di perlintasan sebidang tidak dijaga di Dusun Prayuwana, Desa Ranupakis, Klakah, Lumajang, Jawa Timur, persisnya di perlintasan sebidang tanpa palang pintu KM 138+0 Petak Jalan Randuagung, Minggu (19/11/2023) sekira pukul 19.53 WIB.

Perlintasan sebidang lagi-lagi menelan korban jiwa. Lantas, apa itu perlintasan sebidang? Mengapa perlintasan sebidang rawan kecelakaan dan ada permasalahan apa sebenarnya di perlintasan sebidang?

Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api dengan Jalan, perlintasan sebidang adalah perpotongan antara jalan dengan jalur kereta api (Pasal 1 ayat 1).

Kedua perlintasan ini berada dalam satu bidang tanah yang sama, sehingga disebut sebidang.

Perlintasan sebidang acap menjadi perhatian publik karena sering menjadi tempat terjadinya kemacetan bahkan kecelakaan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit.

Mengutip data KAI, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengungkapkan, selama kurun waktu 2018 – 2023 (per Juli), jumlah korban jiwa akibat kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang mencapai 1.839 orang.

Dari jumlah itu, terbesar adalah pengguna kendaraan roda dua (sepeda motor). Jumlahnya mencapai 1.084 orang, disusul kendaraan roda empat/lebih 747 orang, dan pejalan kaki 8 orang.

Baca juga: Dirut KAI Ajak Semua Pihak Lebih Peduli Kelaikan Keselamatan Perlintasan Sebidang

“Kecelakaan di perlintasan sebidang mayoritas melibatkan kendaraan roda dua. Tahun 2022 terdapat 292 kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang. Sebanyak 74 persen (196 kejadian) merupakan kecelakaan yang terjadi di jalan kabupaten,” kata Djoko saat dihubungi hsemagz.com, Senin (20/11/2023) pagi, menanggapi kecelakaan maut yang terjadi di perlintasan sebidang di Lumajang, Jawa Timur, Minggu (19/11/2023) malam.

Menurut Djoko, sebesar 86 persen di antaranya terjadi kecelakaan di perlintasan tidak dijaga. Di Indonesia, tercatat total perlintasan sebidang dijaga 1.598 titik (43 persen) sedangkan total perlintasan sebidang tidak dijaga 2.095 titik (57 persen).

Sebaran perlintasan sebidang berada di Provinsi Sumatera Utara yang dijaga 162 titik dan tidak dijaga 263 titik, Prov Sumatera Barat (28 titik dijaga dan 100 titik tidak dijaga), Prov Sumatera Selatan (40 titik dijaga dan 70 titik tidak dijaga), Prov Lampung (40 titik dijaga dan 187 titik tidak dijaga), Prov DKI Jakarta (209 titik dijaga dan 246 titik tidak dijaga), Prov Jawa Barat (192 titik dijaga dan 362 titik tidak dijaga), Prov Jawa Tengah (329 titik dijaga dan 209 titik tidak dijaga), Prov DI Yogyakarta (138 titik dijaga dan 172 titik tidak dijaga), dan Prov Jawa Timur (518 titik dijaga dan 487 titik tidak dijaga).

Dikatakan, korban yang terbukti menerobos perlintasan sebidang ketika alarm atau sinyal sudah berbunyi, tidak mendapat santunan dari PT Jasa Raharja.

“Menerobos palang pintu perlintasan kereta api saat sinyal sudah berbunyi dan/atau ada isyarat lain tidak diberikan santunan oleh PT Jasa Raharja kepada korban penyebab kecelakaan yang mengalami kasus kecelakaan atau pelanggaran lalu lintas,” katanya.

Upaya Solusi

Menurut Djoko, alternatif solusi untuk mengurangi potensi kecelakaan adalah dengan cara menutup perlintasan sebidang atau perlintasan dibuat tidak sebidang.

Tetapi, katanya, upaya penutupan perlintasan sebidang kereta api akan menimbulkan dampak tersendiri. Terutama akan mendatangkan resistensi dari warga sebagaimana selama ini terjadi di sejumlah wilayah ketika akan dilakukan penutupan perlintasan sebidang.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini mencontohkan beberapa dampak dari penutupan perlintasan sebidang. Antara lain aksesibilitas terganggu, ketidaksetujuan masyarakat, memperparah kemacetan lalu lintas di lokasi lain, ada perubahan kondisi sosial dan ekonomi, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, katanya, perlu disusun strategi manajemen rekayasa lalu lintas dalam mengurangi titik kemacetan.

DJOKO SETIJOWARNO. (Foto: Dok Hasanuddin)

“Sementara membangun perlintasan tidak sebidang berupa flyover atau underpass ada beberapa kendala, seperti biaya besar, proses pembebasan lahan, butuh waktu pembangunan yang cukup lama, menimbulkan titik kemacetan baru saat pembangunan. Oleh sebab itu diperlukan alternatif pembiayaan,” Djoko menjelaskan.

Total perlintasan jalur kereta api dengan jalan nasional sebanyak 187 lokasi. Belum ditangani 138 lokasi (73,8 persen) dengan estimasi Rp21,5 triliun di luar biaya pembebasan lahan. Yang sudah ditangani sebanyak 49 lokasi (26,2 persen).

Dikatakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah mempunyai Rencana Strategis Kementerian PUPR 2025-2039 tentang Penanganan Perlintasan Sebidang Jalur Kereta Api dengan Jaringan Nasional.

Ada 138 lokasi dengan total anggaran Rp21,39 triliun. Rinciannya untuk tahun 2025 – 2029 sebesar Rp8,37 triliun membangun 54 flyover atau underppass, tahun 2030 -2034 sebanyak Rp7,44 triliun untuk 48 flyover atau underppass, dan tahun 2035 – 2039 dianggarkan Rp5,58 triliun untuk 36 flyover atau underpass.

“Alternatif skema pembiayaan didapat dari APBN, pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” sambung Djoko.

Pada tahun 2023, mengutip data Ditjen Bina Marga Kemen. PUPR (2023), ada lima lokasi yang sedang ditangani oleh Ditjen Bina Marga Kemen PUPR, yaitu flyover Gelumbang di Prabumulih (Sumatera Selatan), flyover Aloha di Sidoarjo (Jawa Timur), flyover Nurtanio di Bandung (Jawa Barat), flyover Bantaian di Muaraenim (Sumatera Selatan) dan underpass Joglo di Surakarta (Jawa Tengah). (Hasanuddin)

LEAVE A RESPONSE