HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Insight

Presiden AS: Jakarta Akan Tenggelam 10 Tahun Lagi

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam sebuah pidatonya mengatakan bahwa jika Indonesia tak segera memindahkan ibukota negaranya, kota Jakarta diperkirakan akan tenggelam dalam 10 tanun ke depan.

Ilustrasi kota Jakarta tenggelam. (kumparannews)

PREDIKSI kota Jakarta akan tenggelam sebenarnya bukan hal baru. Isu ini sudah muncul sejak pertengahan dekade tahun 1980-an seiring muka tanah kota Jakarta yang terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu ditambah air laut dari Teluk Jakarta yang kala itu sudah mencapai kawasan Monas.

            Tetapi isu ini kembali menjadi menarik perhatian karena dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joseph Robinette Biden Jr (Joe Biden), orang nomor satu di negara Adi Daya. Joe Biden melontarkan pernyataannya tentang perkiraan kota Jakarta akan tenggelam itu saat berpidato di Kantor Direktur Intelijen AS pada 27 Juli 2021 berkait isu perubahan iklim di dunia.   

Dakam pidatonya, Presiden AS ke-46 asal Partai Demokrat ini mengatakan bahwa ancaman terbesar Amerika Serikat sekarang ini adalah perubahan iklim. “Tantangan iklim telah mempercepat ketidakstabilan di negara kita sendiri dan di seluruh dunia. Jika pada kenyataannya permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang bermigrasi, memperebutkan tanah yang subur. Tapi apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibukotanya karena mereka akan berada di bawah air,” kata Joe Biden yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden AS ke-47 (2009-2017).

            Perubahan iklim belakangan memang telah menjadi isu global, sebab berdampak serius pada keseimbangan alam dan lingkungan. Perubahan iklim menjadi penyebab cuaca ekstrim dan memicu terjadinya badai. Imbasnya adalah terjadi bencana di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia berupa banjir, longsor, tsunami, kebakaran hutan, dan bencana-bencana alam lainnya. 

Presiden Amerika Serikat Joe Biden

            Para ahli lingkungan mengatakan, perubahan iklim terjadi karena luas lubang lapisan ozon terus meningkat dari waktu ke waktu. Terakhir, luas lubang lapisan ozon diperkirakan seluas Alaska. Lubang lapisan ozon terbentuk sebagai akibat dari emisi gas, CO, dan berbagai bahan kimia berbahaya lainnya yang dilepas dari muka bumi dalam volume yang amat besar dan berlangsung selama beberapa dekade.

            Lapisan ozon yang robek membuat suhu bumi meningkat atau yang dikenal dengan istilah global warming (pemanasan global). Peningkatan suhu membuat gunung-gunung es yang sudah terbentuk ribuan tahun di Kutub Utara menjadi meleleh dan mencair lalu meninggikan permukaan air laut.   Berdasarkan riset yang tertuang dalam dokumen Intergovernmental Panel on Climate Change disebutkan bahwa di akhir abad 21 rata-rata permukaan air laut akan meningkat secara pesat. Nilai rata-rata permukaan air laut meningkat antara 0,43 m dan 0,84 m dalam setahun. Meningkatnya permukaan air laut membuat keseimbangan alam menjadi terganggu dan memicu terjadinya perubahan iklim dan menebarkan aneka bencana di berbagai tempat di dunia.

           Bagi masyarakat kota Jakarta, utamanya yang tinggal di kawasan Utara Jakarta, peningkatan ketinggian permukaan air laut sudah dirasakan sejak awal tahun 2000-an. Air pasang (rob) datang dan menggenangi rumah-rumah warga. Mula-mula luasan area genangan air rob hanya membanjiri kawasan pantai. Namun lama kelamaan, air rob sudah menjangkau kawasan yang lebih jauh dari garis pantai dengan area genangan air yang juga lebih luas.

Daerah Rawa

            Tetapi benarkah kota Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan sebagaimana pidato Presiden AS Joe Biden? Secara geografis, kota Jakarta memang berada di dataran rendah. Bermula dari sebuah pelabuhan milik Kerajaan Sunda, yaitu pelabuhan Sunda Kalapa. Ketika Kongsi Dagang Belanda (VOC) di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menaklukkan kota dari tangan penguasa muslim asal Demak, Pangeran Jayakarta, pada 1630, Coen mulai melakukan pembangunan besar-besaran di kota yang baru direbutnya dan diberinama Batavia. 

Kota Batavia dibangun di atas tanah rawa-rawa dan berada di dataran rendah. Semula kota yang dibangun berada di kawasan yang kini bernama ‘Kota’ dengan Glodok sebagai batas kota paling ujung. Sejak itu, kota Batavia makin banyak didatangi orang dari berbagai pelosok Nusantara dan berbagai negara, terutama China. Kehidupan di kota lama (Old Batavia) semakin kumuh dan menimbulkan berbagai wabah penyakit seperti kolera.

Ketika Batavia berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1808-1811), ia mulai membangun kota Batavia baru (New Batavia) ke arah selatan ke kawasan Omenlanden (kawasan Gambir atau Istana Kepresidenan hingga Lapangan Banteng sekarang). Sejak itu, pembangunan mulai diarahkan ke Selatan, kawasan yang saat itu dianggap sehat, hingga batas paling ujung adalah Jatinegara (Bali Mester).

Morfologi kota Jakarta kian pesat terjadi ketika Indonesia memprokamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sejak itu, pemekaran kota Jakarta dilakukan ke berbagai arah. Di Selatan, Presiden Soekarno mulai membangunan kawasan yang kini bernama Kebayoran Baru di tahun 1950-an. Ke arah Timur perluasan kota hingga mencapai Klender sedangkan ke arah Barat perlusan kota hingga mencapai kawasan Kalideres.

Di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, morfologi kota Jakarta semakin bertambah subur. Pembangunan kota Jakarta dilakukan secara besar-besaran. Gedung-gedung pencakar langit didirikan. Kota Jakarta sudah tak lagi bisa disebut sebagai The Big Village sebagaimana julukan yang diberikan oleh orang-orang asing yang datang ke Jakarta di tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an.              

            Jumlah penduduk kota Jakarta pun meledak. Dari 1 juta orang di tahun 1950 menjadi 10 juta orang di penghujung abad 20. Kota Jakarta sudah menjadi hutan beton. Area hijau semakin menyempit. Di lain pihak, masyarakat menggunakan air tanah secara berlebihan. Air bersih semakin susah didapat. Sumur bor dibuat semakin dalam untuk mendapat air bersih. Pada 1995 dilaporkan bahwa intrusi air laut sudah mencapai kawasan Monas. 

Penggunaan air tanah yang berlebih membuat permukaan tanah kota Jakarta mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Berdasarkan riset yang dilakukan, pengambilan air tanah menyumbang sekitar 40% penurunan muka tanah kota Jakarta.

Dikutip dari laman Vox, penggunaan air tanah secara masif ini bisa menyebabkan lapisan air tanah menurun dan berdampak pada lapisan tanah di atasnya ikut menurun. Bedasarkan data dari LAPAN rata-rata land subsidence (penurunan muka tanah) di DKI Jakarta pada tahun 2015-2020 berkisar antara 0,1 – 8 cm per tahun.

Ilustrasi penurunan muka tanah di kota Jakarta

Tentu angka tersebut bukanlah angka kecil jika diiringi dengan beban bangunan gedung bertingkat yang semakin tinggi. Terlebih lagi daratan di DKI Jakarta merupakan daratan yang berelevasi rendah dan rawan terhadap pemadatan dan amblesan. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit menjadi penyumbang terbesar kedua menurunnya muka tanah kota Jakarta.

Sebenarnya lapisan air tanah bisa tetap seimbang karena akan terisi kembali saat musim hujan. Akan tetapi, semakin sedikitnya daeran resapan air dan penggunaan air yang semakin meningkat menyebabkan lapisan tanah menjadi menurun.  Data BPS menyebutkan area resapan air di DKI Jakarta pada tahun 2017 dirincikan menjadi sumur resapan sebesar 7,85%, lubang resapan biopori sebesar 4,58%, dan taman atau tanah berumput sebesar 7,99%.

Angka tersebut bisa dibilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai 10,56 juta. Menurut pakar geografi, rasio ruang terbuka hijau yang baik di suatu daerah adalah 0,825 ha per 1000 penduduk. Dilihat dari hal tersebut, luas resapan yang ada amat tidak sebanding dengan jumlah penduduknya.

Mengacu pada kejadian tersebut perlu dilakukan program-program perbaikan untuk menanggulangi masalah ini. Contohnya, pada proyek konstruksi, aspek keselamatan yang meliputi keselamatan teknis, K3, keselamatan lingkungan, dan keselamatan publik perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan proyek. Keselamatan teknis yang mencakup bangunan dan strukturnya harus benar-benar diperhitungkan dengan matang agar tidak menimbulkan amblesan. Green Construction atau konstruksi keberlanjutan harus terus digalakan untuk meminimalisir dampak lingkungan. Semua hal ini sudah dimuat dalam Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi. 

Keselamatan Lingkungan

Aspek keselamatan lingkungan juga turut memegang andil dalam hal ini karena berpengaruh kepada keseimbangan lingkungan. Perlu diperhatikan indeks udara di DKI Jakarta yang dikenal memiliki indeks udara buruk. Kondisi udara buruk disebabkan karena polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan asap pabrik. Berdasarkan data statistik Kementerian LHK di tahun 2019, konsentrasi parameter PM2,5 rata-rata hariannya adalah 37,66 mikrogram per meterkubik. Konsentrasi ini fluktuatif dan seringkali berada di atas baku mutu udara.

Kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) saat tergenang banjir

Pola perilaku masyarakat ibukota juga perlu dilakukan perubahan. Seperti hemat penggunaan air dan hemat penggunaan energi. Dampak positif yang ditimbulkan dari hemat penggunaan air yakni dapat mengurangi menurunnya permukaan tanah karena ekstraksi air tanah akan berkurang. Sehingga, kembali lagi ke permasalahan awal, potensi Jakarta tenggelam bisa berkurang.

Sementara hal positif dari hemat energi yaitu berkurangnya polusi udara. Seperti contohnya, dalam hal transportasi, semakin hari kendaraan bermotor jumlahnya semakin meningkat. Di tahun 2020 tercatat jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tembus hingga 20 juta unit. Tak heran jika kemacetan terjadi dimana-mana dan polusi udara juga semakin meningkat. Untuk itu, perlu ada program khusus untuk menangani masalah ini.

Untuk strategi hard protection, Pemerintah DKI Jakarta sudah mulai melakukannya. Strategi tersebut berupa pembuatan tanggul, pembangunan dinding laut, pemecah gelombang dan bendungan. Pembangunan dinding laut disini selalu dilakukan peninggian setiap tahunnya. Oleh karenanya, dalam penanggulangan masalah ini, strategi hard protection saja tidak cukup akan tetapi aspek lain seperti yang sudah disebutkan di atas juga perlu menjadi perhatian agar mendapatkan hasil yang optimal. (Hasanuddin)

LEAVE A RESPONSE