JAKARTA, HSEmagz.com – Para pengguna jalan tol acap dibuat kesal ketika di depannya terdapat truk berbadan besar dan berukuran panjang yang berjalan lambat. Di jalan bebas hambatan, truk tersebut tak bisa melaju kencang karena kelebihan beban muatan.
Padahal jalan tol sudah menetapkan batas kecepatan berkendara, 60 – 100 km/jam. Tetapi truk berbodi bongsor yang dikenal dengan sebutan ODOL (over dimension over load) tersebut melaju dengan kecepatan kurang dari 60 km/jam.
Perbedaan kecepatan kerap menjadi pemicu terjadinya kecelakaan di jalan tol. Kasus-kasus kendaraan menabrak belakang truk begitu sering terjadi di banyak ruas jalan tol di Indonesia, yang tak jarang mengakibatkan timbulnya korban jiwa.
Pakar transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno membenarkan tentang maraknya kasus kecelakaan lalu lintas di jalan tol yang dipicu truk ODOL.
“Sudah banyak korban di jalan tol akibat tabrak belakang karena adanya perbedaan kecepatan dengan kendaraan pribadi atau bus. Saat ini angkutan barang menggunakan jalan masih menjadi primadona kegiatan logistik dengan porsi mencapai 90,4 persen,” kata Djoko saat dikonfirmasi HSEmagz.com, Selasa (8/2/2023) pagi.
Menurut Djoko, kehadiran truk ODOL di jalan tol atau bahkan jalanan biasa tak sekadar memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas. Tetapi juga kelancaraan arus lalu lintas dan mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan.
Berdasarkan data Kementerian PUPR yang didapatnya, Djoko menyebutkan bahwa anggaran yang dikeluarkan Kementerian PUPR untuk perbaikan jalan mencapai Rp47 triliun.
Ilegal
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat ini tegas menyatakan bahwa truk ODOL merupakan kendaraan logistik tidak resmi alias ilegal. Sebab ukurannya tidak standar dan sengaja dibuat lebih besar dan lebih panjang oleh para pengusaha angkutan barang.
Repotnya, kata Djoko, di Indonesia lebih 90 persen pengusaha besar pemilik barang berkontrak dengan pengusaha pengangkut barang yang memiliki armada berdimensi lebih (over dimension). Sudah barang tentu semua armada truk yang berdimensi lebih tidak memiliki surat uji berkala (kir) resmi.
Sudah ada unsur kesengajaan antara pemilik barang dan pemilik kendaraan angkutan barang melakukan pelanggaran muatan lebih (overload) menggunakan kendaraan berdimensi lebih (over dimension).
Diakui Djoko bahwa hingga kini belum ada moda lain yang memadai dalam pergerakan barang. Untuk menekan biaya logistik, banyak pelaku bisnis yang melebihkan muatan pada kendaraannya.
Tindakan yang dianggap menguntungkan pelaku bisnis dalam jangka pendek ini ternyata berdampak buruk bagi pihak lain, yaitu pengguna jalan lain dan pemerintah sebagai pengelola jalan.
“Pelanggar muatan dan dimensi berlebih (over dimension and over load/ODOL) di jalan berdampak terhadap rusaknya infrastruktur jalan dan jembatan serta fasilitas pelabuhan penyeberangan, sehingga kinerja keselamatan dan kelancaran lalu lintas menurun, biaya operasi kendaraan meningkat dan pada akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran distribusi logistik nasional,” Djoko menambahkan.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata ini menyoroti soal Unit Pelaksanaan Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) atau jembatan timbang yang kurang mengikuti perkembangan teknologi terkini. Dengan sistem seperti sekarang, kata Djoko, masih membuka peluang untuk melakukan kecurangan dalam pengoperasian jembatan timbang.
Djoko mensinyalir masih ada ‘permainan curang’ dari para oknum di jalanan yang meloloskan truk ODOL berseliweran di jalanan. Entah itu di jalanan maupun di UPKB.
Terkait UPPKB, saat ini dioperasikan 81 unit dari 134 UPPKB yang diserahterimakan dari pemda ke Ditjenhubdat. Dalam satu unit UPPKB diperlukan 42 personel. Artinya, dibutuhkan 3.402 personel untuk mengoperasikan 81 UPPKB.
Personel yang tersedia sekarang 473 orang dan masih kurang 2.929 orang. Tidak mudah untuk menambah ASN sebanyak itu.
Menurut Djoko, untuk mengantisipasinya bisa digunakan WIM (wheight in motion). WIM adalah suatu alat timbang kendaraan bermotor dengan metode pengukuran bebas kendaraan yang dapat dilakukan ketika kendaraan dalam kondisi bergerak.
WIM dapat mendeteksi truk ODOL. WIM dapat mengetahui berat kendaraan, kecepatan kendaraan, jumlah sumbu (axis), jarak per sumbu dan berat per sumbu. Ada speed counting and truck detector yang dapat melakukan penghitungan LHR, kecepatan kendaraan, dan merekam kendaraan yang tidak masuk UPPKB.
Sistem ini dikembangkan untuk mempermudah proses pendataan dan pengawasan angkutan barang. Dalam sistem ini terdapat data kendaraan, muatan, penimbangan, dan pelanggaran yang terhubung dengan pusat data yang terdapat di Ditjenhubdat.
“Sistem dan teknologi harus segera diterapkan untuk semua UPPKB, supaya tidak ada lagi transaksi antar orang. Memang dituntut komitmen dan kesadaran semua pihak untuk menuju zero truk ODOL. Sinergi antar Kementerian dan Lembaga sangat diperlukan,” katanya.
Saat ini dilakukan pilot project pemasangan WIM di UPPKB Balonggandu (Jawa Barat), UPPKB Kulwaru (DI Yogyakarta) dan jalan tol di Banten. Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR dapat berbagi memasang WIM di ruas jalan non tol.
Sanksi Masih Rendah
Jika kita bandingkan dengan praktik membendung truk ODOL di sejumlah negara, sanksi denda cukup tinggi, sehingga dampaknya ada efek jera bagi yang melanggar untuk tidak mengulanginya lagi.
Di Korea Selatan, misalnya, bagi pelanggar yang memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan beban, akan diberikan sanksi penjara satu tahun dan denda sekitar 10 juta Won atau 10.000 dolar AS yang setara dengan Rp145 juta. Thailand mengenakan denda mencapai 100.000 Baht atau 3.300 dolar AS atau setara Rp47,8 juta.
Penegakan hukum kelebihan muatan sudah tercantum dalam UU LLAJ (Pasal 307) dikenakan sanksi pidana kurungan 2 bulan atau denda maksimal Rp500 ribu. Melakukan revisi Undang-Undang No 23 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) untuk menaikkan besaran sanksi denda harus dilakukan supaya memberikan efek jera pelakunya. (Hasanuddin)