HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Insight Personal

Prof Suprapto, ‘We Have Problem with Standard on Fire’ (5-Habis)

JAKARTA, HSEmagz.com – Masih ingat kasus kebakaran yang menimpa Menara Bank Indonesia (BI) pada 8 Desember 1997 dan Wisma Kosgoro pada 9 Maret 2015 silam?

Kebakaran menara BI itu menewaskan 15 orang, termasuk para pekerja yang tengah melakukan pamasangan instalasi listrik.

Petugas pemadam tampak kewalahan memadamkan api yang pertama kali terlihat di lantai 23 dan kemudian merembet ke lantai 24 dan 25.

Upaya pemadaman akhirnya dilakukan melalui pesawat helikopter karena keterbatasan sarana yang dimiliki saat itu.

Berkaca dari kebakaran Menara BI, beberapa tahun kemudian, ketika Pemprov DKI sudah memiliki Bronco Sky Lift yang bisa menjangkau api di ketinggian 100 meter, juga sempat tidak efektif ketika Si Jago Merah melalap Wisma Kosgoro di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Baca juga: Prof Suprapto, Fisikawan yang Tertarik pada Sistem Proteksi Kebakaran (1)

Baca juga: Prof Suprapto, Kebakaran Bali Beach Hotel dan Misteri Kamar 327 (2)

Baca juga: Prof Suprapto, Sistem Proteksi Kebakaran Pasif Masih Kurang Diperhatikan (3)

Baca juga: Prof Suprapto, Kelahiran SLF Bermula dari Kebakaran di Palembang (4)

Pasalnya, Bronco ditempatkan di Ciracas, Jakarta Timur sehingga ketika tiba di lokasi, kobaran api yang bermula di lantai 16 sudah merembet ke lantai 17, 18, 19, dan sebagian lantai 20. Butuh waktu 14 jam guna memadamkannya.

Gedung-gedung di Jakarta, kata Prof Suprapto, sudah semakin tinggi dan terkategori gedung pencakar langit.

“Tapi, sekarang gedung semakin tinggi. Jakarta bisa berkilah kita punya bronco 100 meter, tapi apa itu efektif untuk gedung tinggi? Karena waktu kebakaran di Wisma Kosgoro, ketika Pak Subejo komandannya, aparat pemadam masuk ke dalam karena api tidak bisa dipadamkan dari luar. Kebakaran di Bank Indonesia juga sia-sia. Pak Fredi Alim menyemprotkan airnya dari luar, namun tidak bisa menjangkau titik api,” kata Prof Suprapto.

Karena itu, sangat penting agar setiap gedung dilengkapi dengan sistem yang bisa melakukan berbagai upaya terkait kebakaran secara sendiri. Mulai dari pencegahan, penanggulangan, hingga penyelamatan.

Dalam kacamata Suprapto, kebakaran melibatkan multidisiplin ilmu dan seharusnya saling berkolaborasi satu sama lain.

Baca juga: ADRIANUS PANGARIBUAN: Mendalami Ilmu Api Karena 6 Stafnya Meninggal (1)

Baca juga: ADRIANUS PANGARIBUAN: Investigasi 200 Kasus Kebakaran (2)

Baca juga: ADRIANUS PANGARIBUAN: Setiap Kebakaran ‘Kok’ Karena Listrik (3)

Baca juga: ADRIANUS PAGARIBUAN : Dicibir dan Dimaki (4)

Baca juga: ADRIANUS PANGARIBUAN: Tongkol Balado, Jagal Ayam, dan Dangdut (5-Habis)

Di bidang konstruksi ada structure fire safety dan mestinya orang-orang teknik sipil bisa mempelajari kebakaran yang penanganannya multidisplin (terdiri dari ahli professional).

Orang teknik mesin mengklaim ada di springklernya, orang elektro mengklaim ada detektornya, orang sipil mengklaim fire resistant nya, orang arsitektur mengklaim ada fasadnya. Oleh karenanya sama-samalah menanganinya.

“Jadi, ada yang menyatukan berbagai displin ilmunya. Kita tahu ada di fire safety management yang kalau tidak salah ada juga assosiasinya. Di Perda DKI No 183 pun ada fire safety management,” kata Suprapto.

Di Indonesia kalau gempa saja bisa memicu terjadinya kebakaran. Oleh karenanya, teknik sipil juga perlu memperhatikan bahwa seusai gempa bisa saja terjadi kebakaran karena kabel-kabel listriknya pada putus dan terbuka.

“Seperti Film Oshin lah, saling membuka diri dan itu juga harus dipayungi dengan standar-standar yang ada. Standar Nasional Indonesia (SNI) pun harus diperbarui  dan di-update,” katanya.

Bicara mengenai standar, Prof Suprapto merasa prihatin. Sebab sampai saat ini standar terkait perlindungan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung masih sedikit.

So we have problem with standard on fire, who care?,” kata Prof Suprapto.

Prof Suprapto berkisah ketika ia didapuk  Kementerian PUPR untuk duduk di bagian Litbang. Kala itu ia dan tim diminta menyusun berbagai standar kebakaran. Dan itu sempat berjalan.

Tetapi kemudian mandek mengingat di kemudian hari, litbang-litbang di sejumlah kementerian dikumpulkan di Kemenristek.

Prof Suprapto kini berharap supaya Masyarakat Profesi Keselamatan Kebakaran Indonesia (MPK2I) bisa memperjuangkan masalah standardisasi di bidang kebakaran.

“Saya sudah menyuarakan hal itu, tinggal bagaimana mereka menyikapi dan bertindak. Do what you want and live longer,” ujarnya,

Standar menjadi penting sekali karena akan menjadi acuan. Kalau tidak ada standar-standar, selama ini Indonesia selalu mengacu standar internasional, NFPA atau British Standard.

Baca juga: Supandi, Mabuk Ikan Patin (1)

Baca juga: Supandi, Hakikat K3 Adalah Memanusiakan Manusia (2)

Baca juga: Supandi, K3 Urusan dan Tanggung Jawab Kita Semua (3)

Baca juga: Supandi, Banyak Belajar dari Budaya Masyarakat Jepang (4)

Baca juga: Supandi dan Sampah Pikiran (5-Habis)

Ia menyarankan, susunlah berdasarkan konsensus, semua pihak harus diundang. Mulai dari departemen, swasta, praktisi untuk menyusun standar.

Selesai menyusun konsensus, diajukan ke BSN (Badan Standarisasi Nasional) yang kemudian mengesahkan memberikan nomor SNI.

Menurutnya, mengingat standar NFPA masih menjadi acuan, sekarang generasi muda ditantang untuk meneruskannya.

“Saya berharap  kepada anak-anak muda ke depannya supaya tetap kembali pada teori api. Ada oksigen, bahan bakar, dan panas.  Tapi setelah terjadi kebakaran timbul yang keempat energi feedback yang membakar lagi. Maka munculah bidang empat kebakaran fire tetra hidron.  Di dalam sistem proteksinya juga empat, if pasif minus of escape and safety management. Nah, kalau soal arsitektur masuk ke pasifnya dan ke minus of escape-nya,” Prof Suprapto menjelaskan.

Sosialisasi harus dilakukan terus-menerus oleh MPK2I sambil melihat perkembangan-perkembangan terkini di berbagai belahan dunia. Jadi masing-masing berintegrasi dan kolaborasi yang tidak bisa lagi dipisahkan.

Berdasarkan penelusuran HSEmagz.com, sampai saat ini BSN telah mengeluarkan Handbook yang berisi kumpulan 15 SNI yang terkait perencanaan perlindungan dari bahaya kebakaran, peralatan dan instalasi pemadaman kebakaran, dan sarana penyelamatan pada bangunan gedung.

Antara lain SNI-03-3989-2000, SNI-03-1735-2000, SNI 03-3985-2000, SNI 03-6571-2000, dan sebagainya. (Hasanuddin)

Prof Dr Ir Suprapto, MSc, FPE, APU

Tempat & Tanggal Lahir         : Cirebon, 1 April 1947

Anak                                        : 5

Cucu                                        : 8

Hobi                                         : Menyanyi, berenang

Pekerjaan dan Jabatan :         :

– Profesor Riset (Ahli Peneliti Utama), Pusat Litbang Permukiman, Balitbang, PU, BidangTeknik Fisika dan Proteksi Kebakaran

– Tenaga Ahli PT AGNI FIRE SAFETY Consultant

– Pengajar Universitas TAMA JAGAKARSA

 Pendidikan

  • Lulusan ITB Teknik Fisika tahun 1978
  • Lulus Pasca Sarjana (MSc) bidang Fire protection Engineering dari WPI-USA (1988)
  • Lulus Fire Safety Modeling Course dari University of Greenwich, UK (1997)
  • Lulus Doktor Teknik Fisika, ITB (2004)

Pengalaman Jabatan

a.Jabatan Struktural

– Kepala Bidang Penelitian, Puslitbang Permukiman (1996 – 1999)

– Direktur Pusat Pendidikan Keahlian Teknik, Departemen PU (2000)

b.Jabatan Fungsional

– Diangkat sebagai Ahli Peneliti Utama/APU (2005)

– Diangkat sebagai Profesor Riset oleh LIPI (2006)

c.Jabatan non Struktural Lainnya

– Ketua KBK Sains Bangunan, Puskim (2005)

– Anggota Tim Penilai Penelitian (TP3) , LIPI (2006 – 2012)

– Ketua Dewan Pengawas MP2KI (2009 – 2012)

– Komisi Teknis Standardisasi Bidang Sains, Bahan & Konstruksi, Puskim (2013-kini)

– Anggota Komite Nasional Keselamatan Konstruksi, Kementerian PUPR (2017 – kini)

Keanggotaan dalam Organisasi Profesi

1988 – 1992 : Society of Fire Protection Engineering (SFPE), Member

1990 – 1994 : National of Fire Protection Association (NFPA), Member

1994 – 1998 : Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), Anggota

1994 – sekarang: Asian Association for Fire Science and Technology (AAFST), Member

1996 – 2000 : Indonesia Fire Fighting Club (IFFC) no anggota 460, Member

2002 – sekarang: Himpunan Ahli Proteksi Kebakaran Indonesia (HAPKI), Dewan Pendiri

2005 – sekarang: Masyarakat Pemerhati Proteksi Kebakaran Indonesia (MP2KI), Dewan Pengawas

2016 – 2018 : Assesor Kompetensi Fire Safety Management, Asesor

2016 – 2019 : Persatuan Guru Besar Indonesia (PERGUBI), Ketua III

Kegiatan dalam Bidang Akademis

1983 – 1985 : Mengajar di ITB Jurusan Teknik Fisika (Fisika Bangunan & Kebakaran)

1985 – 1987 : Mengajar di ITB Jurusan Arsitektur (Teknik Kondisi Lingkungan)

2006 – 2014 : Mengajar di Universitas Pelita Harapan (Manajemen Konstruksi)

2015 – 2016 : Mengajar di Universitas Sahid (Sistem Manajemen K3)

2015 – sekarang : Mengajar di Universitas Tama Jagakarsa (K3 dan SMK Konstruksi)

 

 

LEAVE A RESPONSE