JAKARTA, hsemagz.com – Hari ini, 17 Agustus 2023, bangsa Indonesia merayakan hari Kemerdekaan yang ke-78. Segenap rakyat Indonesia memperingatinya dengan gegap gempita.
Merah putih, dengan beragam bentuk dan ukuran serta jenis, terpasang di segala sudut tempat. Pagi ini, anak-anak mengikuti aneka perlombaan ‘khas’ kemerdekaan.
Menjelang siang, giliran para remaja dan dewasa yang bersiap berlumuran minyak pelumas, ketika memanjat pohon pinang untuk menjemput hadiah yang tersaji di ujung pohon. Begitulah, rakyat menyambut hari kemerdekaan setiap tahunnya.
Rakyat pantas bergembira. Sebab, tepat hari ini, 78 tahun silam, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI.
Hari itu, bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan yang telah membelenggu selama 350 tahun. Rakyat patut bergembira dan bersuka-cita.
Kini, di alam kemerdekaan, memang tak ada lagi penjajahan secara fisik yang bertumpu pada peralatan perang (senjata).
Penjajahan telah bertransformasi dalam aneka rupa yang tak kalah mengerikan dalam operasi yang berlangsung senyap (silent operation) dan berasal dari luar maupun dalam negeri sendiri.
Korupsi, merupakan salah satu wujud nyata penjajahan yang datang dari diri sendiri. Lewat korupsi, kita menjajah bangsa kita sendiri.
Penjajahan dalam rupa lainnya, narkoba. Lalu, perekonomian. Dan masih banyak lagi.
Lantas, bagaimana penjajahan dalam konteks K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)? Penjajahan dalam konteks K3 bisa berwujud keengganan pemilik modal dalam melindungi para tenaga kerjanya dari berbagai ancaman bahaya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.
Upaya perlindungan itu bisa beraneka ragam. Langsung dan tidak langsung. Antara lain regulasi, kesisteman, peralatan kerja dan perlindungannya (APK), metoda kerja, dan peralatan perlindungan diri (APD).
Pada lapis lain, pekerja juga ‘menjajah’ dirinya sendiri, dengan acap berpolah tidak aman (unsafe) ketika sedang bekerja.
Perpaduan dua hal di atas, melahirkan aneka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Baik di tempat kerja, di jalanan, maupun di tempat-tempat lainnya.
Tak heran apabila angka kasus kecelakan kerja di Indonesia tetap dan cenderung terus meninggi dari tahun ke tahun, sebagaimana data yang saban tahun dirilis Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-Tk) yang sekarang bernama BPJamsostek.
Mengutip data BPJamsostek, dalam dua dasawarsa terakhir, kasus kecelakaan kerja yang terjadi telah meningkat lebih dari 150 persen, dari 104.714 kasus pada 2001 menjadi 265.334 pada 2022.
Berdasarkan data itu pula, setiap hari rata-rata 7 – 8 pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Sedangkan 19 pekerja lainnya setiap hari mengalami cacat akibat kecelakaan kerja.
Data kecelakaan kerja yang terjadi sesungguhnya diyakini angkanya jauh lebih besar dibanding data yang disuguhkan BPJamsostek. Sebab data tersebut berdasarkan jumlah klaim santunan asuransi yang harus dibayarkan.
“Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sesungguhnya bisa dihindari dengan cara penerapan aspek K3 yang baik, tepat, dan berkelanjutan,” kata Satrio Pratomo, salah seorang pakar K3 Indonesia.
Kecelakaan tak sekadar menimbulkan korban (manusia/pekerja). Tapi juga kerusakaan peralatan, mesin, lingkungan, dan sosial, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung bagi perusahaan.
Dalam skala lebih luas, kecelakaan akan berdampak pada perekonomian nasional. WHO pernah melansir bahwa kerugian akibat kecelakaan di suatu negara mencapai 5-7% dari GNP (pendapatan kotor). Itu jumlahnya bisa belasan bahkan puluhan triliun rupiah dalam setahun!
Akankah hal ini kita biarkan terus berlarut? Bisakah kita merdeka dari ancaman kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja?
Dibutuhkan kerjasama yang apik dari berbagai pihak, lintas sektoral, melibatkan seluruh elemen masyarakat, agar Indonesia bisa merdeka dari ancaman kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. K3 Unggul Indonesia Maju! (Hasanuddin)