DOHA, hsemagz.com – Hidup adalah rahasia Illahi. Tak ada yang tahu suatu saat akan menjadi apa dan bagaimana.
Begitu pula dengan Asep Hermawan Sanudin (43). Pria asal Bumi Parahyangan ini sama sekali tak terbersit sebelumnya akan bekerja sebagai perawat kesehatan kerja (OHN/Occupational Health Nurse), teramat jauh dari kampung halamannya.
Meski, bekerja di luar negeri sudah menjadi impiannya sejak kecil. Ia begitu takjub dengan sang ayah, kala itu, yang bekerja sebagai pelaut.
“Sejak duduk di bangku SD, saya terobsesi dengan pengalaman almarhum ayah yang waktu itu bekerja di perusahaan Jepang. Saya takjub dengan foto-fotonya ketika di pesawat, di depan kapal Sumimaru, berfoto ria dengan orang-orang Nippon, berpose ketika jalan-jalan di Singapura dan saat transit di Jepang,” kata Asep kepada hsemagz.com menuturkan kisah awal bekerja di Qatar sebagai OHN.
Melihat foto-foto sang ayah, Asep kecil rasanya ingin cepat-cepat dewasa dan mengikuti jejak sang ayah sebagai pelaut. “Merantau ke negeri orang sepertinya lebih mengasyikan ketimbang puas duduk diam di kampung sendiri,” katanya.
Menjadi pelaut, sebagaimana mendiang sang ayah, adalah salah satu impiannya.
Saat di bangku SMU, Asep termasuk siswa berprestasi. Kala itu ia mendapat beasiswa dari GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh), sebuah yayasan yang didirikan pada 1996 di era Presiden Soeharto yang bergerak di bidang sosial dengan membantu pendidikan di Indonesia.
Tahun 1998, kala Indonesia dilanda kemelut, terjadi kerusuhan di mana-mana. Asep mengurungkan niat untuk mengikuti UMPTN ke Universitas-universitas negeri.
“Mencoba lewat jalur PMDK nilai-nilai akademis saya dinyatakan kurang memenuhi syarat karena nilainya fluktuatif. Kebingungan dan tidak ada orang yang mengarahkan karena ayah sedang melaut ke Peru. Saya sudah siap untuk mendaftarkan diri ke Akademi Maritim di Cirebon. Namun impian kandas, karena Ibu tidak merestui,” kisahnya.
Asep lalu masuk ke Akademi Keperawatan (AKPER) Departemen Kesehatan RI Tasikmalaya. Salah satu AKPER terkenal dan paling ketat seleksi masuknya di wilayah Jawa Barat.
Di sinilah Asep justru kemudian menemukan jalan hidupnya. Singkat cerita, pada 2006 ia diterima bekerja di salah satu perusahaan di Qatar, QatarEnergy.
Tahun itu juga, ia terbang ke Qatar dan menginjakkan kaki di kota Doha, ibukota Qatar. Bekerja di negeri orang adalah angan-angannya sejak kecil, yang begitu takjub akan pekerjaan mendiang sang ayah sebagai pelaut yang bisa singgah di berbagai negara di dunia.
Merantau di negeri orang, tentu tak selamanya mulus. Ada suka dan duka, datang silih berganti mengiringi Sang Kala yang terus bergerak maju.
Lalu, apa enaknya bekerja di Qatar? “Gajinya cukup fantastis, hahaha…,” kata Asep terbahak.
“Gak ada pajak, bisa bertemu dan bekerja dengan orang-orang multinasional, berkesempatan untuk mengenyam pelatihan-pelatihan berskala internasional, bisa melihat budaya orang lain, akses yang mudah untuk traveling ke negara lain, wajib memiliki etos dan disiplin kerja tinggi,” sambungnya.
Tetapi hal terpenting bagi Asep bekerja di Qatar adalah bahwa ia bisa menunaikan Ibadah Haji tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti di Indonesia.
“Ini adalah pencapaian saya tertinggi dalam hidup bisa menyempurnakan Rukun Islam ke-5 dalam usia muda 28 tahun. Alhamdulillah,” kata Asep yang hobi gowes ini.
Asep tak begitu sepenuhnya sependapat dengan pepatah “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri” (bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih lebih senang hidup di negeri sendiri).
“Tergantung bagaimana kita memaknainya, dan kita harus melihatnya dari berbagai sisi,” dalihnya.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa ada berbagai tantangan dan kendala sebagai pendatang di negeri orang, sekaligus menjadi bagian dari dukanya bekerja di Qatar.
Misalnya saja ia mengalami keterkejutan budaya (culture shock), jauh dari sanak famili, kadang merasa kesepian dan suka mengalami kejenuhan tingkat tinggi.
Apalagi soal makanan. Tidak semua makanan Indonesia tersedia di Qatar. Ia terpaksa harus puasa untuk makan durian Bawor atau kuliner khas Sunda, yang bisa didapatnya dengan mudah apabila berada di kampung halaman.
Duka lainnya, ia tidak bisa hadir ketika sang kakek, nenek, bibi, dan pamannya meninggal. Atau absen dari pesta-pesta pernikahan sahabat dan kerabat.
“Sudah 17 tahun saya gak merasakan Lebaran di kampung halaman karena jadwal cuti yang kurang pas,” kata Asep, yang pada Rabu (11/10/2023) silam meraih penghargaan Al-Badla dari QatarEnergy. (Hasanuddin)