HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Nasional

Sampah di Enam Kota Didominasi Kemasan Kecil Produk Plastik

JAKARTA, hsemagz.com – Sampah menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat di seluruh dunia, seiring terus bertumbuhnya jumlah populasi dan meningkatnya aktivitas manusia. Utamanya sampah plastik.

Berdasarkan hasil penelitian Jenna Jambeck dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, dalam Journal Science berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean tahun 2015,  Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia yaitu sebesar 3,2 juta MT (Metrik Ton). Tiongkok menempati urutan pertama sebesar 8,8 juta MT dan disusul oleh Filipina di peringkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta MT.

Sampah plastik menjadi persoalan global, sebab plastik merupakan jenis sampah yang sulit diurai di alam. Setidaknya dibutuhkan waktu 200 – 450 tahun untuk mengurai sampah plastik di alam.

Terkait sampah plastik, baru-baru ini Net Zero Waste Management Consortium bersama Litbang Kompas, meluncurkan laporan riset permasalahan sampah plastik di Indonesia, Rabu (22/11/2023).

Dalam laporan riset bertajuk Potret Sampah 6 Kota: Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya dan DKI Jakarta disebutkan bahwa tim memfokuskan pada kemasan plastik kecil yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomis dan mudah tercecer seperti saset, plastik kresek, bungkus mie instan dan air mineral kemasan gelas, yang mendominasi pembuangan akhir sampah.

Proses riset audit sampah dilakukan dengan titik sampling berkisar 12-17 titik di setiap kota yang mencakup tempat pembuangan sementara (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA), dan lokasi seperti pinggiran jalan, pesisir, dan badan sungai.

Hasil audit di enam kota ini berhasil mengidentifikasi 1,9 juta kepingan (pcs) sampah yang terdiri atas 635 jenis sampah plastik produk konsumen dari berbagai merek.

“Serpihan kemasan produk berbagai merek, termasuk sampah botol dan cup minuman dalam kemasan, mendominasi timbulan sampah di berbagai site dan rantai jalur sampah termasuk di TPA di enam kota besar,” kata Ahmad Safrudin, lead researcher Net Zero.

Secara rinci, serpihan sampah plastik berbagai merek merupakan jenis sampah terbanyak dengan total 59.300 pcs. Kemudian plastik keresek menempati urutan kedua sebanyak 43.597 pcs, disusul bungkus sebuah merek mi instan (37.548 pcs) dan cup atau gelas plastik air minum dari sejumlah merek.

Menurut Ahmad, hal tersebut mengindikasikan willingness (keinginan) produsen atau pemilik brand menjalankan dua program pilar pengurangan sampah, yakni EPR dan up sizing, belum efektif.

Sekadar informasi, Extended Producer Responsibility atau EPR adalah prinsip perluasan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk produsen agar bertanggung jawab atas keseluruhan daur hidup setiap produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir produk.

Sedangkan Up Sizing adalah arah kebijakan packaging yang ditetapkan pemerintah dengan maksud agar produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Sementara itu, Nila Kirana dari Litbang Kompas menjelaskan temuan lapangan tersebut sejalan dengan survei persepsi publik di enam kota atas persoalan sampah.

“Dari survei Litbang Kompas di enam kota diketahui sampah dari kemasan produk makanan, produk minuman, produk kecantikan dan kebersihan, dan produk kesehatan merupakan sampah kemasan yang dominan menurut persepsi masyarakat” kata Nila Kirana.

“Jajak pendapat juga mendapati 77,5% responden yang tidak pernah mengumpulkan kemasan dan mengembalikannya ke produsen serta terdapat 75,7% responden yang tidak pernah mengumpulkan produk yang sampahnya dikumpulkan oleh produsen,” Nila menambahkan.

Lebih lanjut dikatakan, hasil jajak pendapat di enam kota tersebut sedikit banyaknya memberi gambaran apa yang ada di pikiran masyarakat, apa yang mungkin telah berkembang menjadi persepsi masyarakat, mindset masyarakat dan bahkan ada di antaranya yang telah menjadi kebiasaan yang nyaris mempengaruhi kultur masyarakat dalam mengelola dan memperlakukan sampah.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Vivien Rosa Ratnawati yang hadir pada acara workshop tersebut, menyambut baik temuan riset Net Zero Waste Management Consortium bersama Litbang Kompas itu.

“Kementerian menyambut baik riset yang dimaksudkan untuk memberikan input kepada pemerintah dan para pihak terkait untuk mereview dan memberikan fokus untuk efektivitas pelaksanaan program pengurangan sampah,” katanya.

Menurutnya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen sebenarnya ditujukan kepada para produsen agar mereka segera mengurangi kemasan produk yang sulit diurai oleh proses alam, tidak dapat didaur atau digunakan ulang.

Ahmad Safrudin menjelaskan audit investigasi sampah di enam kota berhasil menghadirkan potret faktual pengelolaannya di tengah masyarakat.

“Pengamatan selama audit sampah di enam kota menunjukkan belum ada praktik pengurangan sampah melalui pengumpulan dan pembuangan terpilah dengan berorientasi pemanfaatan sampah seoptimal mungkin. Semua masih berlaku sebagaimana adanya (business as usual),” katanya.

Dia mengkritisi pemerintah Kabupaten/Kota yang menurutnya tidak menyiapkan sistem dan infrastruktur program pengurangan sampah dengan penempatan dan pengumpulan terpilah.

“Inisiatif warga baik pribadi maupun komunal di level RT/RW pupus ketika menyaksikan bahwa petugas sampah kembali menyatukannya (di gerobak sampah, di TPS, di truk, di TPA) atas sampah hasil pilahan mereka.”

Sebenarnya, menurut Ahmad Safrudin, pemulung dengan jaringan lapak dan agen barang-barang bekas telah mandiri dalam penyerapan sampah berpotensi daur ulang dan guna ulang.

“Namun karena aktivitas mereka murni bermotif ekonomi, bisa dimaklumi bila jenis sampah yang kurang/tidak bernilai ekonomis cenderung mereka terlantarkan, dibakar ditimbun di tanah kosong, atau dibuang di kali.”

Selain itu, Ahmad Safrudin mengungkap, peran bank sampah di keenam kota tersebut masih belum signifikan lantaran melulu berorientasi pada sampah bernilai tinggi sehingga tidak berbeda dengan pelapak/pemulung yang sebatas melakukannya dengan motif ekonomi.

“Sebagian bank sampah hanya hadir di waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada kunjungan (pejabat, tamu studi banding), project stimulant, dll. sehingga banyak sampah yang tidak terserap.”

Secara keseluruhan, Ahmad Safrudin menyatakan bahwa situasi di enam kota menunjukkan bahwa pengelolaan sampah masih sebatas pada pengelolaan fisik semata (alat/tenaga kebersihan, bak sampah, gerobak/truk sampah, TPS, TPA) dan belum berimbang pada pembangunan participatory yang berorientasi pencegahan dan pengurangan.

Sebagian besar pejabat yang mengelola sampah tidak memiliki sense of crisis terkait masalah sampah perkotaan, sehingga kebijakan yang diambil senantiasa hanya melakukan rutinisan dan pengulangan yang terbukti tidak efektif dalam mengelola sampah yang senantiasa meningkat volumenya dari tahun ke tahun.

“Terbukti, beban sampah menjadi besar dan bahkan kian mengarah menjadi bencana yang ditandai antara  lain kebakaran TPA di berbagai kota/kabupaten pada kemarau 2023 ini,” kata Ahmad.

Litbang Kompas merupakan divisi riset Harian Kompas yang bertugas membantu redaksi dalam pengayaan konten untuk pemberitaan dan tambahan riset-riset.

Net Zero Waste Management Consortium adalah konsorsium CSO (Civil Society Organization) atau organisasi masyarakat sipil dengan fokus pada lingkungan perkotaan (urban environment). (fadli/Hasanuddin)

 

 

 

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *