Jakarta, hsemagz.com – Aneka kecelakaan kerja yang terjadi di tungku smelter di Morowali, Sulawasi, mengundang beragam komentar di masyarakat. Betapa tidak, berbagai kecelakaan kerja yang terjadi di sana, sudah banyak menelan korban jiwa dari kalangan pekerja.
Berdasarkan catatan hsemagz.com, dalam setahun terakhir, terdata 68 pekerja meregang nyawa dalam berbagai kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Morowali. Mayoritas dari para korban adalah pekerja asal Indonesia.
Catatan kelam dunia K3 di Morowali tersebut membuat prihatin masyarakat K3 di Indonesia plus kaum buruh yang tergabung dalam berbagai wadah serikat pekerja Indonesia.
Kehadiran sejumlah investor asing di Morowali pun jadi sorotan. Mereka dinilai kurang memperhatikan aspek K3, yang menjadi syarat mutlak bagi perlindungan tenaga kerja dari berbagai potensi bahaya yang bisa mengancam keselamatan dan kesehatan pekerja.
“Setiap investor harus memprioritaskan atau mengedepankan K3. Banyak negara di dunia yang sudah menetapkan standar K3 bagi setiap investor asing yang akan berinvestasi di negaranya. Tetapi kenapa Indonesia belum?” kata Wakil Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) Prof Dra Fatma Lestari, MSi, PhD, kepada hsemagz.com menanggapi berbagai kasus kecelakaan kerja fatal (fatality accident) yang marak terjadi di sektor industri smelter di Morowali, Sulawesi.
Menurut Guru Besar K3 dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) ini pemerintah Indonesia harus menetapkan standar dan persyaratan K3 kepada para calon investor asing atau internasional agar para pekerja Indonesia terlindungi keselamatan dan kesehatannya ketika bekerja di tempat kerja.
Prof Fatma tak mengharapkan para pekerja muda Indonesia meninggal di tempat kerja karena praktik-praktik K3 di perusahaan yang kurang elok.
“Generasi emas Indonesia juga harus mengedepankan K3. Untuk itu kita harus membekali genarsi muda kita dengan pengetahuan dan keterampilan terkait K3. Upaya-upaya promotif dan preventif harus dikedepankan agar tidak ada lagi korban jiwa, tidak ada lagi pekerja-pekerja yang meninggal karena bekerja di sektor proyek-proyek internasional yang strategis,” katanya.
Budaya K3, sambung Prof Fatma, dimulai dari kepemimpinan (leadership). Pemimpin pemerintahan, pemimpin perusahaan, harus mengedepankan dan memprioritaskan K3 dalam setiap aktivitasnya. Sebab K3 berkaitan dengan aktivitas sehari-hari maupun aktivitas bisnis. Jangan bersikap reaktif atau responsif apabila terjadi kecelakaan atau kasus penyakit akibat kerja.
Tanpa K3 maka bisnis akan mengalami berbagai kerugian, baik finansial maupun reputasi, selain menimbulkan duka amat mendalam bagi para keluarga pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.
“K3 sangat-sangat fundamental untuk menjadi persyaratan bisnis dan aktivitas kita sehari-hari,” pungkas Prof Fatma. (Hasanuddin)