HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Construction Insight

Prof ATM: Malapraktik Insinyur Sudah Membudaya dalam Proyek-proyek Konstruksi

Jakarta, hsemagz.com – Kelalaian dalam standar prosedur yang berlaku umum dan pelanggaran atas tugas yang menyebabkan seseorang/pihak menderita kerugian atau malapraktik insinyur di proyek-proyek konstruksi sudah berlangsung lama dan bahkan sudah menjadi budaya.

Hal ini menjadi pemicu terjadinya berbagai kegagalan proses konstruksi yang tak jarang berujung pada timbulnya korban, baik jiwa maupun harta benda.

Malapraktik insinyur dalam penyelenggaraan jasa konstruksi akan berimbas pada gagal bangunan, gagal fungsi, gagal kinerja, gagal manfaat, gagal pasar, dan  gagal tujuan.

“Malapraktik keinsinyuran sudah menjadi budaya dalam penyelenggaraan jasa konstruksi,” kata Prof Dr Ir Agus Taufik Mulyono, ST, MT, IPU, ASEAN Eng, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM) kepada hsemagz.com dan konstruksi media di Jakarta, Jumat (16/2/2024).

Pria yang akrab disapa ATM ini mencontohkan berbagai tindakan malapraktik konstruksi yang selama ini terjadi dan acap dianggap sepele. “Ketebalan lapisan semen pada bangunan yang kurang, kurangnya ketabalan aspal pada jalan, dan sebagainya,” kata Prof ATM.

Malapraktik sudah terjadi dalam berbagai tahapan proses penyelenggaraan jasa konstruksi. Mulai dari tahap perencanaan hingga serah terima dan pemeliharaan (OM).

Ditegaskan, insinyur bahkan sering terjebak malapraktik  pada setiap tahapan manajemen proyek. Di tahap perencanaan umum, misalnya, insinyur sering terjebak dalam indikasi kepentingan kelompok tertentu untuk merealisasikan ide proyek.

Lalu, di tahap pra-studi kelayakan (pre-feasability study), insinyur terjebak memenuhi pesanan target kelayakan awal proyek tanpa didukung data akurasi yang akurat. Ketika memasuki tahap studi kelayakan, insinyur terjebak situasi ketidakujuran data untuk memenuhi tingkat kelayakan proyek. “Dan begitu seterusnya pada tahap-tahap manajemen proyek lainnya,” katanya.

Prof ATM tegas menyatakan ketidaksetujuannya dalam istilah kecelakaan konstruksi. Ia lebih memilih istilah kegagalan proses konstruksi untuk menyebut peristiwa yang selama ini disebut kecelakaan konstruksi.

“Peristiwa itu terjadi di tahap proses, makanya lebih tepat disebut sebagai kegagalam proses konstruksi. Jika bangunan fisiknya sudah jadi, maka disebut sebagai kegagalan bangunan,” Prof ATM menjelaskan.

Menurut Prof ATM, malapraktik insinyur dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dipicu dua hal utama yaitu internal dan eksternal.

Pemicu internal berasal dari keinsinyuran itu sendiri. “Kompetensi keinsinyuran hanya sebagai simbol belaka, kompetensi kerja konstruksi yang kurang mumpuni, penerapan kode etik-tata laku yang belum jadi ukuran, penerapan standar mutu yang kurang dipatuhi, dan standardisasi insentif remunerasi atau take homepay yang rendah,” jelasnya.

Sedangkan pemicu eksternal berasal dari setidaknya lima hal. Yaitu target serba cepat (tuntutan program kerja pemerintah), sinkronisasi antar regulasi yang kurang  terpadu, kolaborasi/kerjasama antar lembaga yang kurang, ketersediaan sistem pendanaan yang kurang optimal, dan manajemen big data dan kebencanaan yang kurang dipahami sehingga telambat dalam antisipasi.

“Faktor pemicu internal akan melahirkan produk layanan menjadi buruk, sedangkan faktor pemicu eksternal akan menyebabkan etika karakter menjadi buruk. Akibat perpaduan dua hal yang buruk tersebut terjadilah apa yang disebut gagal bangunan, gagal fungsi, gagal kinerja, gagal manfaat, gagal pasar, dan gagal tujuan,” kata Prof ATM.

Prof ATM menekankan pentingnya aspek kompetensi keahlian dan etika profesi. Keduanya merupakan bagian tak terpisahkan satu sama lain untuk melahirkan insinyur yang kompeten dan beretika sehingga melahirkan karya-karya yang bermutu dan bermafaat secara ekonomi dan umat manusia.

Ketua Forum Penilai Ahli Terkait Kegagalan Bangunan ini mengibaratkan Sertifikasi Kompetensi Kerja (SKK) Konstruksi sebagai kebutuhan jasmani dan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) sebagai kebutuhan rohani.  “Ini yang tidak pernah menjadi fokus perhatian kita selama ini,” kata Prof ATM yang saat ini juga tengah menjabat sebagai Ketua Majelis Profesi dan Etik Masyarakat Transportasi Indonesia.

Repotnya, soal etika dalam kegagalan proses konstruksi berujung pada proses hukum secara pidana. Sebab ketika terjadi kegagalan proses konstruksi yang berujung pada timbulnya korban jiwa, harus ada orang/pihak yang bertanggung jawab.

Sedangkan soal kompetensi akan bermuara pada adanya pelanggaran standar ketika terjadi kegagalan proses konstruksi yang menimbulkan kerugian atau kecelakaan fatalitas bagi orang/pihak lain, akan berujung pada proses hukum secara perdata.

Soal etika berpijak pada UU No 11 tahun 2014 dan PP No 25 tahun 2019 tentang Keinsinyuran. Sedangkan soal kompetensi berlandaskan UU No 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Ditanya soal tenaga kerja konstruksi (TKK) dan insinyur di Indonesia yang sudah mengantongi STRI, Prof ATM menghela nafas. Tegas ia menyatakan bahwa dirinya prihatin dengan kondisi yang ada saat ini. Sebab, TKK bersertifikat dan Insinyur yang telah mengantongi STRI di Indonesia sangat rendah.

Dibeber Prof ATM, dari sekitar 8 juta jumlah TKK, yang sudah bersertifikat hanya 337.569 atau kurang dari 4,5%. Sedangkan jumlah Sarjana Teknik saat ini terdata di angka sekitar 5 juta orang dan yang tergabung dalam wadah Persatuan Insinyur Indonesia (PII) hanya 82.300 orang. Parahnya, dari jumlah tersebut yang sudah mengantongi STRI/SKI hanya 26.140 orang atau kurang dari 2%.

Prof ATM menjelaskan sebab rendahnya kepemilikan sertifikat kompetensi, yaitu: Pertama, rendahnya kesadaran bersertifikat kompeten di kalangan engineer maupun pengguna dan penyedia jasa yang mempekerjakan tenaga kerja khususnya di sektor konstruksi.

“Kedua, belum ada kepastian hukum mengenai peningkatan remunerasi dan kesejahteraan atas kepemilikan SKI/STRI. Lalu, ketiga, sertifikasi kompeten belum menjadi isu bersama dan prioritas utama dari para pemangku kepentingan (Pemerintah Daerah, Badan Usaha, Pengembang, dan masyarakat jasa konstruksi lainnya). Dan keempat atau terakhir, sebagian sngineer tidak merasa ada manfaat esensial atas kepemilikan SKIP dan STRI dalam praktik keinsinyuran di lapangan,” pungkas Prof ATM. (Hasanuddin)

 

 

LEAVE A RESPONSE