JAKARTA, hsemagz.com – Siapa yang tak kenal plastik? Sejak ditemukan dan dikembangkan pada tahun 1930, plastik sudah menjadi bagian dalam kehidupan manusia.
Di Indonesia, plastik bahkan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat, terutama dalam fungsinya sebagai kantong. Dari pasar tradisional yang kumuh dan becek hingga pusat perbelanjaan modern yang bersih dan berpendingin ruangan, kantong plastik begitu mudahnya dijumpai.
Plastik memang banyak manfaatnya bagi manusia. Tetapi seiring dengan kesadaran manusia akan lingkungan, plastik kemudian menjadi ancaman.
Maklum, plastik termasuk salah satu produk manusia yang sulit diurai secara alamiah di alam. Bakteri-bakteri pembusuk tak mampu mengurai sampah plastik dalam tempo singkat.
Berdasarkan hasil penelitian para ahli, setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari 200 tahun untuk mengurai sampah plastik di alam. Bahkan, ada jenis plastik tertentu, yang baru bisa diurai dalam kurun waktu 450 tahun.
Ironisnya, ketika sulit diurai di daratan, sampah plastik justru banyak ditemukan di lautan. Dan, di perairan atau lautan, sampah plastik menjadi mesin pembunuh paling efektif para satwa air.
Paus, lumba-lumba, anjing laut, singa laut, bahkan reptil buaya pun banyak ditemukan mati akibat banyak plastik di dalam perutnya. Penelitian dari UC Davis dan Universitas Hasanuddin yang dilakukan di pasar Paotere Makassar menunjukkan 23% sampel ikan yang diambil memiliki kandungan plastik di perutnya.
Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, dalam Journal Science berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean tahun 2015 menjelaskan hasil penelitiannya mengenai jumlah sampah plastik yang terdapat di laut.
Dari estimasi 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik produksi 192 negara di seluruh dunia pada tahun 2010, diperkirakan terdapat antara 4,8 – 12,7 juta MT masuk ke lautan lepas.
Dalam penelitiannya itu, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia yaitu sebesar 3,2 juta MT. Tiongkok menempati urutan pertama sebesar 8,8 juta MT dan disusul oleh Filipina di peringkat ketiga yaitu sebesar 1,9 juta MT.
Tapi itu data tahun 2015. Teranyar, World Population Review pada awal 2023 menempatkan Indonesia di urutan ke-5 sebagai negara pembuang sampah plastik terbesar di dunia dengan perkiraan angka 56.333 MT atau 56,333 juta kilogram (kg).
Berikut 10 negara penyumbang sampah plastik di lautan versi World Population Review sebagaimana dikutip dari Indonesiabaik.id:
- Filipina : 356.371 metrik ton
- India : 126.513 metrik ton
- Malaysia : 73.098 metrik ton
- China : 70.707 metrik ton
- Indonesia : 56.333 metrik ton
- Brasil : 37.799 metrik ton
- Vietnam : 28.221 metrik ton
- Bangladesh : 24.640 metrik ton
- Thailand : 22.806 metrik ton
- Nigeria : 18.640 metrik ton
Dari 10 negara di atas, delapan di antaranya merupakan negara-negara di Asia. Dari delapan negara di Asia, lima di antaranya berasal dari Asia Tenggara.
Hal ini mengindikasikan banyak hal. Utamanya adalah soal perilaku masyarakatnya yang masih menganggap sungai dan laut menjadi keranjang sampah terpanjang dan terbesar di dunia.
Pada lapis lain, kurangnya peran pemerintah dalam hal penanganan sampah pun turut berkonstribusi dalam persoalan sampah plastik di lautan.
Tak salah jika para ahli menyatakan bahwa mayoritas penyumbang sampah plastik di lautan adalah negara-negara berkembang di Asia. Selain China dan Indonesia, Filipina, Vietnam, Srilanka, Thailand, Mesir, Malaysia, Nigeria, Bangladesh berkontribusi paling banyak mengirimkan sampahnya ke laut.
Baca juga: Sampah di Enam Kota Didominasi Kemasan Kecil Produk Plastik
Berlayar Hingga Afrika Selatan
Sekitar pertengahan 2015, tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memasang 11 drifter—sebuah pelacak lokasi berukuran mini—pada sampah yang mengalir dari sembilan sungai di Jakarta.
Pemasangan drifter dilakukan guna memantau seberapa jauh jarak sampah-sampah plastik Jakarta berlayar di lautan. Periode pemantauan dilakukan selama setahun. Hasilnya, 2 drifter tersangkut di Pulau Bengkulu, 4 di Kepulauan Seribu, dan 4 lainnya tersangkut di pantai Jawa Barat.
“Dan satu nyasar sampai ke Afrika Selatan,” tutur Muhammad Reza Cordova, peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), yang turut andil dalam proyek penelitian itu, sebagaimana dilansir dari laman detikX edisi Selasa (13/6/2023).
Jarak antara Jakarta dan Afrika Selatan terbentang lebih dari 9.000 kilometer atau hampir dua kali lipat jarak Sabang ke Merauke.
Studi yang dilakukan para peneliti BRIN pada 2020 juga menunjukkan data bahwa sampah-sampah plastik dari Indonesia berlayar jauh sampai ke negara-negara tetangga.
Dalam jurnal berjudul ‘Marine Debris Pathway Across Indonesian Boundary Seas’, sampah dari utara dan selatan Indonesia terombang-ambing sampai ke Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sampah-sampah itu kemudian ‘mampir’ di beberapa kepulauan Indonesia dan sebagian sampai ke negara belahan Asia lain.
Di bagian utara Indonesia, wilayah yang terdampak antara lain Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Raja Ampat Papua. Di bagian selatan, sampah-sampah itu berlayar sampai ke Pulau Aru, Pulau Babar, Sumba, Bali, dan Jawa Barat.
Sedangkan di luar garis batas perairan Indonesia, sampah-sampah itu bertualang sampai ke Malaysia, Timor Leste, Brunei Darussalam, Thailand, dan Australia.
Temuan dari studi mutakhir juga menemukan hasil senada. Sebagian besar sampah plastik, tutup botol, dan barang rumah tangga kecil yang terdampar di Seychelles, Afrika Timur, berasal dari Indonesia. Seychelles adalah sebuah negara kepulauan berbentuk republik yang terletak 1.600 km sebelah timur daratan benua Afrika.
Bahkan dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Marine Pollution Bulletin pada Februari 2023 sampah plastik seperti sandal pantai, botol, hingga jaring apung yang berasal dari Indonesia bisa bertahan di lautan setidaknya selama 6 bulan hingga lebih dari 2 tahun. Penulis utama penelitian bertajuk ‘Sources of marine debris for Seychelles and other remote islands in the western Indian Ocean’ ini, Noam Vogt-Vincent, berasal dari Departemen Ilmu Bumi University of Oxford.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), dalam lima tahun terakhir, Indonesia menghasilkan sedikitnya 23-34 juta ton sampah per tahun. Sekitar 16-20 persen atau 3,68-6,8 juta ton merupakan sampah plastik yang sulit terurai.
Kepala Administrasi Penanggulangan Pencemaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Hendi Koeshandoko mengatakan, dari total sampah plastik itu, sekitar 20 persennya mengalir ke sungai dan berlayar hingga ke lautan.
Jumlahnya 270-680 ribu ton per tahun. Sampah-sampah inilah yang akhirnya juga mencemari negara tetangga dan Samudra Hindia. Sebaliknya, sampah dari negara-negara tetangga juga banyak yang mengalir dan tersangkut di pesisir maupun perairan Indonesia. (berbagai sumber/Hasanuddin)