HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Insight Oli & Gas Safety, Health, & Environtment

Pemukiman Warga di Area TBBM Plumpang Perlu Ditertibkan

JAKARTA, HSEmagz.com – Kebakaran hebat yang melanda kawasan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Plumpang di Jakarta Utara pada Jumat (3/3/2023) malam, telah mengakibatkan 17 orang meninggal dunia, 51 menderita luka bakar, puluhan rumah menjadi arang, dan 1.085 orang mengungsi.

Para korban adalah warga yang bermukim di dua RW, yang lokasinya berdempetan dengan keberadaan TBBM Plumpang.

Pemicu kebakaran, hingga berita ini ditulis dan ditayangkan, ditengarai berasal dari bocornya pipa penerimaan BBM. Ihwal kenapa pipa tersebut mengalami kebocoran, masih diselidiki aparat berwenang dan diinvestigasi pihak terkait.

Berdasarkan informasi yang dihimpun HSEmagz.com, pipa penerimaan BBM yang mengalami kebocoran tersebut merupakan pipa bentangan dari Tanjung Priok ke area TBBM atau Integrated Terminal Jakarta (Depo) Plumpang dan berada di luar area inti Depo.

Pipa yang mengalami kebocoran tersebut berada dekat pemukiman warga. Mirisnya, Depo Pertamina Plumpang dan pemukiman warga hanya dipisah oleh tembok tinggi dan satu ruas jalan dengan lebar sekitar 2 meter. Tangki-tangki besar milik Pertamina terlihat dengan jelas dari area pemukiman.

Baca juga: Korban Tewas Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Capai 17 Orang

Tak pelak, ketika terjadi kebocoran pipa penerimaan BBM yang berujung kebakaran, kobaran api langsung melumat pemukiman warga, sehingga korban dari pihak warga tak bisa dihindarkan.

Persoalannya, kenapa pemukiman warga bisa sedekat itu dengan TBBM Plumpang?

Berdasarkan penelusuran HSEmagz.com, TBBM Plumpang dibangun pada 1972 dan mulai dioperasikan pada 1974 dengan kapasitas tangki timbun sebesar 291.889 kiloliter (KL).

Saat itu, kawasan di sekitar TBBM Plumpang masih tanah kosong. Ada yang mengatakan masih berupa rawa.

Informasi yang didapat, luas lahan saat Depo Plumpang dibangun mencapai 70 Ha.  Namun ketika kebakaran terjadi 18 Januari 2009, diketahui luas lahan Depo Plumpang saat itu mencapai 48,35 Ha.

Tak begitu jelas sejak kapan lahan milik Pertamina di sekitar Depo Plumpang itu ditempati warga. Namun seorang narasumber yang keberatan jatidirinya disebut mengatakan sejak dioperasikan pada 1974 hingga 1977, area masih steril.

Memasuki tahun 1978, warga mulai berdatangan ke lokasi. Penertiban sudah dilakukan berkali-kali namun warga melakukan perlawanan.  “Sejak itu warga beranak-pinak dan menempati lahan milik Pertamina di sekitar area Depo hingga seperti sekarang ini,” katanya.

 

Pemukiman Warga Perlu Ditertibkan

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Energi Watch Daymas Arrangga mengatakan bahwa pemukiman warga tak semestinya berada di dekat Depo Pertamina yang nota bene merupakan area dengan risiko bahaya tinggi (high risk).

Harus ada jarak. Daymas menyebut,  jarak ideal antara pemukiman dan Depo Pertamina mestinya puluhan meter. Kurang dari itu, warga bisa terpapar risiko radiasi saat terjadi kebakaran. Oleh karena itu, ia menilai diperlukan adanya penertiban pemukiman warga di sekitar depo.

Baca juga: Dirut PT Pertamina Minta Maaf

“Perlu penertiban permukiman-permukiman liar yang ada di sekitar depo. Karena kalau tidak, ketika terjadi sebuah risiko bencana kebakaran, [maka] akan seperti yang ada di video-video, begitu banyak dan begitu paniknya warga masyarakat yang memang tinggal di sekitar sana,” kata Daymas sebagaimana dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Sabtu (4/3/2023).

Daymas menjelaskan depo memiliki radius paparan yang bervariasi, mulai dari 13 sampai 20 meter tergantung besaran tangki. Sementara radius radiasi panas bisa mencapai 50 meter.

Menurutnya, banyaknya korban luka akibat kebakaran Depo Plumpang pada Jumat (3/3/2023) malam merupakan contoh dari paparan radiasi panas.

Hal senada juga diungkap pakar K3L dari PT Unilab Perdana, Supandi bahwa harus ada regulasi yang mengatur tentang jarak antara sebuah obyek vital nasional (obvitnas) seperti Depo Pertamina dengan pemukiman penduduk atau aktivitas warga lainnya.

SUPANDI

Selain regulasi, pakar standarisasi ini juga menyebut soal standar keselamatan lingkungan terkait kehadiran dan kepentingan sebuah obvitnas di suatu lokasi.

Supandi mencontohkan, potensi risiko bahaya antara obvitnas berupa Depo Pertamina dengan pabrik senjata api dan amunisi PT Pindad, misalnya, tentu berbeda. Di sekitar Pindad misalnya, risiko bahaya yang kemungkinan terjadi selain ledakan disertai kebakaran tentu ada getaran, kebisingan, dan sebagainya.

Sedangkan di area Depo Pertamina, selain ledakan dan kebakaran juga ada risiko bahaya pencemaran air, bahaya kimia, dan sebagainya.

“Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa ya dalam kasus ini (kebakaran Depo Pertamina Plumpang, red). Kalau melihat pemberitaan, kok pemukiman penduduk dengan Depo Pertamina Plumpang begitu mepet. Harus dibuat regulasi dan standarisasinya agar segala aktivitas di area obvitnas tidak menimbulkan dampak bagi warga sekitar,” kata Supandi kepada HSEmagz.com, Sabtu (4/3/2023).

Baca juga: Korban Tewas Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Capai 17 Orang

Ihwal sterilisasi pemukiman warga dari area Depo Pertamina sebagaimana diungkap Daymas Arrangga, juga dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

Menurut Fabby, kawasan Depo Plumpang seharusnya dibenahi agar tak terjadi insiden serupa di masa depan. Fabby mengatakan bahwa sarana produksi dan penyimpanan BBM tak semestinya berada di lingkungan padat penduduk. Pemukiman dan depo, semestinya memiliki jarak aman puluhan hingga ratusan meter.

“Antara fasilitas ini (Depo Pertamina, red) dan pemukiman ada jarak aman, beberapa puluh hingga beberapa ratus meter,” kata Fabby saat dihubungi terpisah.

Fabby mengatakan, Depo Plumpang sebetulnya sudah dibangun sejak awal 1970-an kala tak banyak penduduk menghuni lingkungan tersebut. Lokasi itu baru dipadati penduduk seiring berkembangnya waktu.

Oleh sebab itu, menurut Fabby, perlu ada regulasi yang ketat untuk membenahi kawasan tersebut. Dia menilai warga harus direlokasi dengan memberikan ganti rugi yang memadai.

“Kebakaran kali ini disinyalir berasal dari kebakaran pipa minyak, bukan di depo penyimpanan. Jadi apabila benar demikian, maka perlu ada pengamanan di sepanjang jalur pipa, termasuk adanya buffer zone dari permukiman warga,” kata Fabby.

Soal buffer zone, Pertamina sendiri sudah mengkhawatirkan hal itu sejak 2016. Direktur Pemasaran Pertamina kala itu, Ahmad Bambang mengatakan bahwa Pertamina membutuhkan buffer zone yang lebih memadai untuk Depo agar operasional berjalan dengan kondusif tanpa harus khawatir akan risiko.

Ahmad menyebut bahwa isu pembebasan lahan guna memperluas buffer zone telah terjadi sebelum 2016. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemda DKI Jakarta untuk menemukan solusinya.

Sebaliknya, Pemprov DKI Jakarta justru menunggu respons dari PT Pertamina. Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengungkapkan bahwa pemerintah daerah sudah pernah mengusulkan soal pemberian jarak antara rumah warga dan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara.

Pemprov DKI Jakarta meminta harus ada buffer zone selebar 50 meter. “Kira-kira begitu, kami kembalikan ke Pertamina,” kata Heru di lokasi kejadian, Jumat (3/3/2023) malam.

Baca juga: Depo Pertamina Plumpang Meledak dan Terbakar

Soal penertiban/penataan ulang jarak minimal pemukiman warga dengan Depo Pertamina juga disinggung Ketua Komisi II Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) Subkhan.

Menurut Subkhan, guna meminimalisir jatuhnya korban sebagaimana peristiwa Jumat (3/3/2023) malam di kemudian hari, penertiban/penataan ulang jarak minimal pemukiman dan Depo harus dilakukan.

“Atas kejadian ini, pemerintah dan semua stakeholder terkait harus menindaklanjuti semua rekomendasi hasil investigasi kejadian plumpang, termasuk jika memang salah satunya nanti diharuskan ada penertiban/penataan ulang jarak minimal pemukiman warga dengan plumpang ini sehingga tdk terjadi potensi korban jiwa lagi yang akan timbul dikemudian hari,” kata Subkhan kepada HSEmagz.com, Sabtu (4/3/2023).

“Pihak pengelola juga harus lebih menguatkan prinsip proses safety management yang komprehensif dengan pengendalian harian yang ketat dan menyeluruh, disiapkan drill yang lebih berdasarkan pembelajaran dari case ini,” sambung Subkhan. (Hasanuddin)

LEAVE A RESPONSE