HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Insight Personal Safety, Health, & Environtment

SUMA’MUR PK : Bola Karet Sang Legenda (2)

Dulu sudah ada Pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Kesehatan tahun 1950 tapi belum ada ilmu yang menjurus ke sana (K3, red). Penjelasan-penjelasan kesehatan masyarakat lebih banyak membahas penyakit kesehatan menular.

Tetapi saya tetap pada tujuan yaitu mempelajari ilmu kesehatan yang berkaitan dengan kelompok tenaga kerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan. Saat kuliah sudah ada dosennya  dan saya sering diajak bantu dosen. Nah di situ saya mendapatkan ilmu-ilmu tambahan yang selama ini saya inginkan.

Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran, saya tidak bekerja sebagai dokter medik sebagaimana umumnya. Saya melamar ke Kementerian Perburuhan (sekarang Kementerian Ketenagakerjaan).

Saat bekerja ini lah pengetahuan saya tentang keselamatan dan kesehatan kerja semakin bertambah. Ternyata isu keselamatan kerja itu sudah lama jadi pembahasan di zaman Belanda.  Keselamatan kerja sudah dimulai pada akhir abad 19, yang dimulai dari pengaturan-pengaturan tentang keselamatan atas penggunaan mesin-mesin uap.

Pada akhir abad 19, dimulai keselamatan listrik (seiring masuknya listrik di Indonesia, red). Di awal abad 20, Belanda mulai menggunakan bahan-bahan bakar gas dan itu kan bahaya bisa terjadi ledakan. Waktu itu Belanda sudah menggunakan yang disebut dengan ketentuan-ketentuan keselamatan.

Waktu itu banyak pekerja yang bekerja di industri rumahan (home industry) dan banyak mengalami kecelakaan kerja karena banyak mengabaikan (aspek) keselamatan kerja. Pabrik-pabrik kemudian banyak didirikan dimana kecelakaan kerja makin sering terjadi.

Teknisi-teknisi didatangkan, yang tentunya banyak belajar dari negara maju, dimana mereka punya prinsip keselamatan ini hanya bisa digunakan kalau dilaksanakan oleh pemerintah dan dibuatkan perundang-undangan. Kemudian Belanda membuat perundangan-perundangan tentang keselamatan kerja.

Perhatian terhadap kesehatan pekerja baru timbul kemudian karena orang bekerja itu timbul penyakit yang disebut ‘penyakit akibat kerja’, yang baru ketahuan beberapa waktu kemudian.

Suma’mur Prawira Kusumah. (Foto: Repro/Hasanuddin)

Hal ini sering menimbulkan anggapan bahwa dalam Keselamatan kerja seolah-olah penyakit akibat kerja (PAK) tidak dapat ditangani sebagai bagian dari upaya yang termasuk ruang lingkup keselamatan kerja bahkan mungkin saja mereka yang memiliki kewenangan dalam bidang kesehatan beranggapan bahwa  PAK harus ditangani pada sektor  kesehatan saja dan tidak oleh sektor lainnya.

Oleh karena itu terhadap K3 orang-orang yang memiliki latar belakang kesehatan menyatakan K3 sebagai bagian kesehatan dan keselamatan kerja. Terhadap kenyataan demikian dewasa ini perundang-undangan yang mengatur PAK menegaskan bahwa PAK merupakan kecelakaan kerja sehingga sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (sudah semestinya PAK dipandang sebagai kecelakaan kerja) sehingga pada tempatnya ditangani dalam program Keselamatan Kerja  (berada dalam kewenangan upaya-upaya dalam ruang lingkup keselamatan kerja).

Namun begitu hal ini tidak mengurangi kewenangan dokter-dokter yang menurut ketentuan praktek kedokteran, hukum yang berlaku dan kebudayaan masyarakat, dokterlah yang memiliki kewenangan dalam hal penangan medis terhadap penderita yang mengalami penyakit akibat kerja.

Kenyataan ini membuka kesempatan secara luas untuk dikembangkan program penanganan PAK oleh sektor kesehatan yang mengatur profesi kedokteran dan juga oleh sektor ketenagakerjaan yang dengan jelas keduanya mempunyai peranan penting bagi terlaksananya dengan baik program-program yang bersangkutan dengan penyakit akibat kerja.

Kendati demikian, program penanganan PAK bukan hanya perlu dilakukan oleh sektor ketenagakerjaan dan sektor kesehatan saja melainkan oleh semua sektor ekonomi, bahkan juga sosial yang berada dalam suatu negara oleh karena pencegahan penyakit atau apapun juga terjadinya pengaruh yang membuat tenaga kerja tidak sepenuhnya sehat bahkan mungkin hanya menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan bekerja, dapat menjadi penyebab menurunnya angka produktivitas dan juga menjadi sebab buruknya kualitas hasil produksi.

Kenyataan ini sebenarnya telah berlaku lama pada abad-abad yang lalu khususnya dipelopori di negara Jerman. Di Indonesia dewasa ini sesuai dengan UU tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan dengan jelas UU tersebut mengatur kesehatan kerja dalam K3 merupakan kewenangan sektor ketenagakerjaaan.

Kecelakaan itu ada ilmunya dan ilmunya dikembangkan oleh Heinrich. Ini orang yang mulai mengembangkan bahwa kebudayaan orang, kebiasaan orang yang dihubungkan dengan terjadinya kecelakaan kerja dan kesehatan kerja.

Dia lebih banyak meneliti terhadap kecelakaannya sehinga semua kecelakaan menurut dia bisa dilihat dengan mata dan bisa diraba karena langsung dari pekerjaan. Misalnya menggunakan mesin rantai jika tidak diamankan atau tidak ditutup dengan penutup rantai  maka akan terjadi kecelakaan. Kalau sudah terjadi kecelakaan harus ada jaminan sosialnya menurut Heinrich, dan ini kita ikutin.

Terkait dengan engineering dan kesehatan itu tidak bisa bersatu dan itu yang ada di pikirkan saya ; bagaimana menyatukan dokter dan insyinyur karena tidak ada pendidikan yang bisa menyatukan itu. Di dunia barat itu sudah banyak pendidikan yang memulai pendidkan dokter dan insinyur.

Suma’mur merupakan seorang dokter ahli higine perusahaan dan keselamatan kerja lulusan Universitas Cincinnati Ohio, AS. Setelah menamatkan studi di Fakultas Kedokteran UI, beliau meraih gelar magister setelah mendapat program Beasiswa dari ILO. Pendidikan Magister itu diselesaikannya dalam waktu singkat yakni 1 tahun.

Di Indonesia untuk menyatukan dokter dan insinyur masih belum ada. Pada tahun 1964 saya memadukan dokter dan insinyur, kerjasama antara stetoskop dan mistar hitung, yang kemudian disebut HIPERKES (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja).

Saya mulai dengan karier di Departemen Perburuhan sebagai dokter klinik waktu itu dokter di kementrian perburuhan itu sering dipandang rendah karena hanya menolong orang sakit.

Saya mulai terjun di penelitian yang hasilnya disumbangkan ke Kementerian Ketenagakerjaan. Akhirnya saya diminta untuk membuat penelitian dalam bentuk “Lembaga Kesehatan dan Keselamatan Kerja.”

Program awal Lembaga K3 adalah pendirian Laboratorium Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang memberikan pelayanan untuk dapat mengukur dan mengevaluasi besaran penyebab penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan, serta dapat menilai sejauh mana telah terjadi pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja pihak tenaga kerja.

Untuk hal tersebut setiap negara di dunia termasuk Indonesia harus memiliki kadar batas aman dari bahan-bahan khususnya bahan kimia yang jumlah serta macamnya semakin berkembang pada setiap negara.

Batas aman tersebut biasanya dinyatakan sebagai nilai ambang batas suatu bahan yang besarannya tidak sama untuk semua negara yang disebabkan oleh perbedaan iklim dan karakteristik manusia di negara yang bersangkutan, yang biasanya dalam berbagai hal menunjukkan perbedaan yang tidak sedikit bahkan sangat besar.

Saat ini laboratorium tersebut telah berada dan cukup berfungsi melayani perusahaan-perusahaan sebagaimana laboratorium tersebut telah didirikan dan mempunyai peralatan, serta berada di beberapa provinsi dengan pusatnya di Jakarta.

Selain mendirikan laboratorium, Lembaga K3 mempunyai peran dalam hal pendidikan keahlian ilmu K3; penelitian terpakai ataupun ilmiah dan juga penyuluhan-penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengamankan tenaga kerja agar tidak terjadi kecelakaan kerja atau PAK.

Pendidkan wajib kepada dokter perusahaan dan bagi perawat yang bekerja di perusahaan dimulai dari tanggal 22 Januari 2010 dan saat sekarang sudah ratusan tenaga medis yang telah mengikuti pendidikan wajib dalam Higiene Perusahaan dan Keselamatan kerja. Demikian pula Lembaga K3 telah melaksanakan pendidikan K3 bagi teknisi K3 yang bekerja di perusahaan dan jumlah peserta relatif sudah banyak.

Lembaga K3 juga telah melakukan penelitian-penelitian yang hasilnya dimuat dalam penerbitan majalah oleh lembaga atau dipakai sebagai tambahan informasi bagi para pelaksana K3 pada pemerintah ataupun diajukan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah mengenai K3 di Asia atau di Eropa dan juga secara khusus bila ada pertemuan Lembaga Perburuhan Internasional baik di Jenewa (Geneva) atau di negara-negara lain.

Pada pertemuan organisai internasional K3, saya sebagai pimpinan Lembaga K3 dengan sengaja menjual gagasan bahwa K3 di Indonesia dilaksanakan dan termasuk dalam program pembangunan negara baik untuk lima tahun dan program jangka panjang dengan maksud agar program demikian diikuti atau dicontoh oleh negara-negara lain.

Dalam Keselamatan Kerja, Indonesia sangat menginginkan bahwa keselamatan kerja menjadi budaya kerja  dan untuk itu diselenggarakan Kampanye K3 yang dilakukan selama dua bulan setiap tahun yaitu bulan Januari dan bulan Februari.

Penentuan bulan tersebut berdasarkan tanggal diterbitkannya UU Keselamatan Kerja No 1 Tahun 1970. Selaku Dirjen Pengawasan Ketenagakerjaan saya senantiasa sibuk berkampanye dengan antara lain diselenggarakannya penyuluhan-penyuluhan dalam bentuk seminar, penyuluhan, pendidikan dan publikasi bahan-bahan tentang Keselamatan Kerja.

Ternyata upaya membudayakan keselamatan kerja tidak menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan kegiatan tersebut yaitu tidak nampak menurunnya angka kecelakaan kerja yang dalam catatan beberapa tahun ternyata jumlah angka kecelakaan kerja tetap saja sebanyak 100 ribu peristiwa kecelakaan yang terjadi.

Hal ini memerlukan pendekatan lain yang pernah juga telah dilakukan dan oleh karena itu di Surabaya pada tahun 1972 diselenggarakan seminar mengenai keselamatan kerja yang merumuskan makna dari upaya keselamatan kerja yaitu tentang betapa pentingnya pendekatan pencegahan kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja sehingga perlu dirumuskan dengan tegas tujuan menurunkan angka kecelakaan kerja yang misalnya dalam dua tahun kecelakaan kerja harus diturunkan menjadi hanya tinggal 20% saja atau dapat juga dirumuskan angka penurunan lain yang dianggap lebih realistis untuk mencapai tujuan tersebut sangat penting. Gerakan nasional yang masif dengan semua pihak ikut serta dalam gerakan nasional demikian.

Saat ini Indonesia yang dipimpin oleh Presiden dan pembantunya ternyata mampu menggerakkan masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah diprogramkan oleh pemerintah.

Apa salahnya apabila Pemerintah membuat program agar angka kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja dapat diturunkan sebanyak 50% dalam waktu 10 tahun dan diturunkan menjadi hanya 10% saja dalam waktu 10 tahun berikutnya atau dapat ditentukan persentase yang lebih sesuai.

ita semuanya patut sependapat bahwa kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menyebabkan tingkat kerugian materi yang dapat dinyatakan dalam uang sehingga apabila kecelakaan dapat dikurangi sejauh mungkin akan sangat menguntungkan bagi masayrakat dan negara. (bersambung/Hasanuddin)

 

LEAVE A RESPONSE