RUDIYANTO: Penghargaan K3 Diberikan Langsung Presiden (3)
JAKARTA, HSEmagz.com – Sejak itu, penilaian penerapan K3 di perusahaan mulai dilaksanakan. Saat itu pemberian penghargaan dilakukan langsung oleh Presiden Republik Indonesia. Momen ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi insan K3 Indonesia.
Dalam konteks ini, K3 menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan negara. Dalam sejarahnya, pemberian penghargaan K3 dilakukan langsung oleh orang nomor satu di Indonesia mulai dari Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Rudiyanto sempat menjadi bagian dari sejarah penting tersebut. Suatu ketika ia bersama tim dari Sucofindo dan Kemnaker yang dipimpin Menaker, melakukan presentasi sekaligus laporan kepada Presiden RI.
Doktor Administrasi Bisnis dan Kebijakan Publik jebolan Unpad Bandung yang kala itu masih berusia muda, mengaku kurang tidur selama satu minggu untuk mempersiapkan pemberian penghargaan di bidang K3 yang dilakukan oleh Presiden RI.
Sucofindo sendiri saat itu menerima penghargaan bendera SMK3 pertama dari Presiden RI. Saat itu Rudiyanto mengaku bersama rekannya dari Sucofindo Reza Pahlevi, Bayu Rahardaya, Rinaldi Idrus dan John Woodacre baru istirahat tidur sejenak jam 5 pagi, namun jam 9 pagi harus sudah ada di Istana Kepresidenan untuk mengikuti prosesi pemberian penghargaan.
Meski selama satu minggu kurang tidur, toh ia mengaku puas dan bangga bisa hadir di Istana Kepresidenan guna menyiapkan acara sekaligus menerima penghargaan bendera SMK3 yang pertama.
Peristiwa ini merupakan momen yang tak bisa dilupakannya hingga sekarang ini. Sejak itu, katanya, Sucofindo banyak terlibat dalam upaya mensosialisasikan K3 dengan berbagai pihak seperti Kemnaker, DK3N, dan sebagainya. Bentuk kegiatannya antara lain simposium, seminar, workshop, dan masih banyak lagi.
Peraih The Best CEO for Digital Culture, First-Digital Culture Excellence Award tahun 2021 ini mengisahkan bahwa saat itu DK3N merupakan lembaga yang powerful sebab harus diisi oleh para ahli K3 yang berasal dari berbagai instansi yang benar-benar memahami K3 secara utuh. DK3N sekarang, katanya, merupakan perwakilan atau representasi dari profesi.
Saat itu banyak gagasan untuk memajukan K3 tak hanya di kancah nasional tetapi juga regional dan internasional. Rudiyanto mencontohkan bagaimana saat itu DK3N melakukan lobi-lobi ke ILO dan APOSHO serta berbagai organisasi K3 Internasional.
Rudiyanto juga turut serta dalam upaya pembentukan ASEAN OSH-NET, yang merupakan jejaring K3 negara-negara anggota ASEAN dalam struktur Sekretariat ASEAN. Ia sendiri kemudian menjadi Program Manager pertama ASEAN OSH NET, yang bertugas antara lain bagaimana mengembangkan jejaring (networking) untuk informasi K3 di negara-negara anggota ASEAN.
Saat itu pihaknya mengembangkan Computer Based Networks yang difasilitasi oleh JICA. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan berbagai informasi seputar penerapan K3 di negara-negara anggota ASEAN. Meski negara-negara seperti Malaysia dan Singapura dianggap lebih maju dalam hal K3, tetapi Indonesia menjadi referensi untuk berbagai penerapan K3.
K3 kemudian tidak lagi berada di tingkat praktis dan sistem manajemen serta akademik di tatanan struktur organisasi, tetapi juga berupaya menumbuhkan kepedulian (awareness) di masyarakat sehingga lahir lah gerakan yang kemudian bernama MPK2LK (Masyarakat Peduli Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan Kerja) pada tahun 2000.
Setelah itu, berbagai organisasi profesi K3 marak didirikan yang orientasinya adalah menumbuhkan dan membangun awareness di masyarakat.
Kondisi K3 di tahun 1990-an tentu berbeda dengan sekarang. K3 belum mendapat perhatian utama di negeri ini.
Ada hal menarik yang dialami Rudiyanto ketika ikut serta dalam delegasi Indonesia dalam forum ILO Conference yang merupakan agenda rutin ILO setiap tahun di Genewa, Swiss. Saat itu ia merasa miris sekaligus sedih, sebab Indonesia tidak memiliki data K3 secara komprehensif. Yang ada hanyalah laporan kecelakaan kerja yang setiap tahun dirilis PT Jamostek (sekarang BPJamsostek). (bersambung/Hasanuddin)