JAKARTA, HSEmagz.com – Setiap pengawas ketenagakerjaan selama ini hanya mampu memeriksa 5 perusahaan setiap bulannya atau 7.585 perusahaan/bulan atau 91.020 perusahaan/tahun.
Sementara jumlah perusahaan UMK dan UMB berdasarkan sensus ekonomi tahun 2016 terdata di angka 26,7 juta perusahaan.
“Gap antara jumlah pengawas dan jumlah perusahaan yang harus diawasi dan diperiksa, sangat besar. Kemampuan setiap pengawas ketenagakerjaan hanya 5 perusahaan setiap bulannya atau kira-kira kurang dari 100 ribu perusahaan setiap tahunnya. Tadi saya menghitung, untuk bisa memeriksa seluruh perusahaan yang berjumlah 26,7 juta berdasarkan sensus ekonomi tahun 2016, dibutuhkan waktu selama kira-kira 13.000 bulan. Dalam usia saya sekarang ini, saya tidak punya waktu untuk menunggu selama itu,” seloroh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam sambutannya saat meresmikan peluncuran fitur pemeriksaan norma ketenagakerjaan berbasis website Norma 100 di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Selasa (27/6/2023) siang.
“Betapa lamanya Kementerian Ketenagakerjaan untuk melaksanakan pelayanan pemeriksaan termasuk di dalamnya pembinaan. Dengan kemampuan yang ada sekarang, mustahil kita bisa melakukan pemeriksaan dan pembinaan terhadap 26,7 juta perusahaan,” sambung Menteri Ida.
Atas dasar itulah diperlukan inovasi dan pengembangan metode layanan pengawasan ketenagakerjaan yang mudah, murah dan menjangkau lebih banyak perusahaan melalui inovasi digital berbasis formulir elektronik (e-form) dan dengan metode penilaian secara mandiri (self assessment) dalam pembinaan dan pemeriksaan norma ketenagakerjaan.
Menaker Ida mengatakan fitur pemeriksaan norma ketenagakerjaan berbasis web Norma 100 merupakan Inovasi layanan pengawasan ketenagakerjaan sebagai wujud reformasi pengawasan ketenagakerjaan.
“Pada prinsipnya metode Norma 100 ini memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk menilai tingkat kepatuhan dirinya sendiri (self assessment) terhadap pemenuhan norma ketenagakerjaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pelaku usaha dalam upaya mewujudkan tempat kerja yang layak dan berkeadilan,” katanya.
Menaker Ida menambahkan penamaan Norma 100 merupakan brand dari fitur peningkatan layanan pengawasan ketenagakerjaan secara digital berbasis jaringan yang terintegrasi dalam website www.kemnaker.go.id.
Setiap perusahaan yang diwakili oleh pihak pengusaha dan perwakilan pekerja melakukan pengisian kepatuhan secara mandiri dengan menjawab Daftar Periksa yang memuat 100 (seratus) pertanyaan untuk selanjutnya diverifikasi oleh Pengawas Ketenagakerjaan.
Hasil pengisian Norma 100 ini akan dituangkan dalam Laporan Hasil Verifikasi (LHV) sehingga akan menunjukkan skor tingkat kepatuhan perusahaan terhadap pemenuhan norma ketenagakerjaan, dengan kategori:
- Skor 91 – 100, Tingkat Kepatuhan Tinggi (HIJAU)
- Skor 71 – 90, Tingkat Kepatuhan Sedang (KUNING)
- Skor < 70, Tingkat Kepatuhan Rendah (MERAH)
“Penting kedepan agar diberikan suatu reward atau insentif bagi perusahaan yang benar-benar patuh atau kategori HIJAU dalam penerapan norma-norma ketenagakerjaan termasuk K3, sementara perusahaan yang memiliki tingkat kepatuhan dengan kategori MERAH nantinya dapat dijadikan prioritas utama dalam pembinaan melalui sosialisasi, pendampingan maupun konsultasi sampai pada penyusunan program kepatuhan norma ketenagakerjaan dan K3 secara mandiri,” jelas Menaker Ida.
Sudah Diujicoba
Pada kesempatan sama, dalam sambutannya Dirjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker Haiyani Rumondang menjelaskan bahwa pengembangan Norma 100 merupakan upaya nyata untuk mencapai Indikator Kinerja Utama yang tertuang dalam Permenaker Nomor 11 Tahun 2021 tentang Indikator Kinerja Utama Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020 – 2024.
Pengembangan desain dan infrastruktur Norma 100 berbasis web sendiri telah dilaksanakan sejak 2022.
“Norma 100 telah diujicobakan di 6 perusahaan smelter terkemuka di Indonesia, dalam beberapa kali FGD tahun 2022 dengan diikuti lebih dari 50.000 perusahaan dan terakhir ujicoba Kerjasama dengan KADIN Indonesia,” kata Dirjen Haiyani.
Menurut Haiyani, Norma 100 merupakan solusi atas terbatasnya jumlah pengawas ketenagakerjaan yang dimiliki Kementerian Ketenagakerjaan. (Hasanuddin)