KontraS dkk Soroti Aksi Brutalitas hingga Kriminalisasi oleh Aparat di Rempang
JAKARTA, hsemagz.com – Pulau Rempang diguncang insiden yang menimbulkan dugaan serius terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat gabungan yang terdiri dari Polisi Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) diduga terlibat dalam tindakan kekerasan.
Tragedi ini bermula dari aktivitas pematokan tanah yang merupakan bagian dari proyek Rempang Eco-city. Proyek tersebut melibatkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG). Namun, respons aparat yang berlebihan berujung pada timbulnya dampak serius bagi masyarakat Pulau Rempang.
Solidaritas Nasinoal untuk Rempang yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru, WALHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, KPA, AMAN, dan Trend Asia, melakukan investigasi untuk menilai dugaan pelanggaran HAM yang terjadi.
Hasil investigasi ini membuka mata terhadap sejumlah fakta yang menunjukkan adanya perlakukan brutalitas hingga langkah kriminalisasi yang dilakukan oleh para aparat di lapangan.
Salah satu temuan Solidaritas Nasinoal untuk Rempang misalnya soal penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat, termasuk penembakan gas air mata di dekat fasilitas sipil seperti sekolah, yaitu SDN 24 dan SMPN 22 Galang.
“Kami menilai penggunaan gas air mata pun tidak dilakukan secara terukur. Salah satunya dibuktikan dengan ditembakannya gas air mata ke lokasi yang tidak jauh dari gerbang sekolah, yaitu SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang,” tulis hasil investigasi berjudul Keadilan Timpang di Pulau Rempang oleh Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Hal ini disebut menimbulkan kepanikan, ketakutan, dan bahkan luka fisik pada anak-anak yang sedang belajar. Solidaritas Nasinoal untuk Rempang menyebutkan bahwa pihak sekolah sebelumnya telah memberikan peringatan agar aparat tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah, namun peringatan ini diabaikan.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menilai, dampak kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang sangat luas dan merugikan masyarakat secara ekonomi serta sosial. Mata pencaharian masyarakat, terutama nelayan, terhenti akibat kejadian ini. Prioritas utama mereka menjadi mempertahankan kampung dari pematokan tanah dan kehadiran aparat, yang semakin memunculkan rasa ketakutan dan kecemasan di tengah masyarakat.
Selain itu, Peristiwa 7 September 2023 pun melahirkan penangkapan sewenang-wenang terhadap 8 masyarakat. “Penangkapan terhadap massa aksi yang berpendapat kami anggap sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Padahal Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 secara jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” ungkap lapoaran tersebut.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menuntut agar pemerintah segera bertindak responsif dan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mencegah terulangnya kekerasan semacam ini. Kedepannya, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap proyek Rempang Eco-city dan kebijakan pendekatan yang melibatkan aparat keamanan.
Dalam kesimpulan temuan tersebut, peristiwa kekerasan di Pulau Rempang pada tanggal 7 September 2023 harus dianggap sebagai dugaan serius pelanggaran HAM sesuai dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Proses dialogis dan respons cepat dari pemerintah adalah langkah kritis untuk mencegah keberulangan kekerasan dan memastikan pemulihan yang efektif bagi para korban serta masyarakat pada umumnya.
“Termasuk mengkaji ulang PSN dalam hal implementasinya selama ini, kemudian merombak kebijakan pendekatan dengan meninggalkan model pengerahan aparat kekerasan negara. Hal yang tak kalah penting, pemulihan bagi para korban dan umumnya pada situasi yang belakangan terjadi,” pungkas hasil investigasi tersebut.