JAKARTA, HSEmagz.com – Prof Dr Ir Suprapto, MSc, FPE, APU kini tak lagi muda. Rambutnya sudah hampir seluruhnya memutih.
Kendati demikian, di usianya yang sudah menginjak angka 76 tahun pada 1 April 2023 silam, Suprapto selalu bersemangat dan tetap enerjik.
Apalagi jika bicara keselamatan kebakaran, yang memang selama ini menjadi keahliannya, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini selalu berapi-api.
Pria kelahiran kota ‘Udang’ Cirebon, Jawa Barat pada 1 April 1947 ini berkisah tentang awal mula dirinya ‘nyemplung’ di dunia keselamatan kebakaran.
Baca juga: SUMA’MUR PK : Bola Karet Sang Legenda (1)
Bermula ketika kuliah di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (FT-ITB) pada 1967. Kala itu, Suprapto muda diterima di jurusan Teknik Fisika.
Di sini, pada mulanya, Suprapto muda belum mengenal apa itu proteksi kebakaran. Sebagaimana mahasiswa lainnya, di masa-masa awal kuliah Suprapto lebih dijejali mata kuliah fisika.
Kuliah di masa itu memang tidak seperti sekarang. Empat tahun selesai. Masa itu belum ada pembatasan masa kuliah seperti sekarang.
Mahasiswa bisa bertahun-tahun menyandang statusnya. Kala itu dikenal istilah mahasiswa abadi (MA). Kuliah dan bisa lulus serta menyandang gelar sarjana selama 10 tahun kala itu merupakan hal yang lumrah.
Pun demikian dengan Suprapto. Setelah bertahun-tahun kuliah, Suprapto pun tiba pada tugas akhirnya yaitu berupa skripsi.
Kala itu, Suprapto yang kini dikaruniai lima anak dan delapan cucu ini mendapat tawaran 10 topik yang bisa dijadikan skripsi oleh dosen pembimbingnya, Prof Iskandar,
Baca juga: RUDIYANTO : Terlibat Penyusunan SMK3 (1)
Dari 10 topik itu, Suprapto sangat tertarik dengan satu judul yaitu mengenai sistem proteksi kebakaran pada bangunan yang memiliki air conditioning system.
Di benaknya seketika menari-nari pertanyaan; bagaimana sebenarnya proteksi kebakaran terhadap bangunan tinggi yang punya AC itu?
Topik skripsi Itu menarik perhatiannya, karena di tempat yang terbakar clap udara buang semua dibuka lebar-lebar sedangkan clap udara masuk ditutup.
Sebaliknya di satu lantai atas clap udara masuk dibuka dan clap udara buang ditutup. Jadi ditekan begitu, api bisa dipadamkan.
Hal itu lah yan mendasari dirinya tertarik mengambil skripsi dengan topik sistem proteksi kebakaran pada bangunan ber-AC.
Saat itu tidak ada teman-temannya sesama mahasiswa Teknik Fisika ITB yang terpikir ke arah itu.
Mulanya, Suprapto sempat mengalami kesulitan. Beruntung, berkat otaknya yang encer, Suprapto akhirnya lulus dan berhak menyandang gelar Insinyur pada 1978 dengan skripsi tentang Sistem Proteksi Kebakaran.
Skripsinya itu ternyata mendapat sambutan hangat dari pihak Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar).
Baca juga: Supandi, Mabuk Ikan Patin (1)
Begitu lulus kuliah, Suprapto merintis pembentukan Laboratorium Uji Api. Inilah lab uji api pertama di Indonesia.
Lab uji api itu ia buat di sebuah ruangan kecil seluas sekitar 40 meter persegi yang kemudian menjadi kantornya. Di sini terdapat laboratorium fire testing.
Alat-alatnya pun sangat sederhana dan mudah didapat. Walau demikian, kantornya menjalin kerja sama dengan pihak Jepang yang merasa tertarik lalu membantu menyusun lab uji api.
Pihak Jepang selanjutnya meminta Suprapto melakukan pengetesan tentang bagaimana perilaku bahan bangunan dan perilaku konstruksi bangunan terhadap bangunan.
Beruntung, ia mendapat dukungan penuh dari Damkar sehingga Suprapto muda bisa menjawab tantangan pihak Jepang,
Keberhasilan itu membawanya terbang ke Jepang. Di Negeri Sakura ini, Suprapto mendapat kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang laboratorium uji api. Ia kemudian mengadopsinya sebagian di lab uji api yang didirikannya.
Ketertarikannya pada dunia kebakaran semakin menjadi. Sejak menyelesaikan skripsinya, Suprapto memperdalam ilmu kebakaran.
Namun, perguran tinggi yang mengajarkan soal kebakaran tidak ada di Indonesia. “Adanya di Amerika, Inggris, dan Jepang,” kata Prof Suprapto kepada HSEmagz.com suatu ketika.
Suprapto lantas terbang ke Amerika dan belajar ilmu kebakaran di Worcester Polytechnic Institute (WPI) yang berlokasi di negara bagian Massachussets dengan biaya beasiswa.
Kampusnya dekat dengan kantor National Fire Protection America (NFPA). Di WPI, Suprapto menimba ilmu Fire Protection Engineering dan lulus tahun 1988.
Keterlibatan Suprapto dalam bidang keselamatan kebakaran semakin intens. Di tahun-tahun kemudian, ia kian mendalami kebakaran secara keilmuan.
Pada 1997 ia terbang ke London, Inggris guna memperdalam ilmu bidang Safety Modeling Course dari University of Greenwich, UK.
Pada 2004, ia menyelesaikan studi S3 nya di ITB dan lulus sebagai Doktor Teknik Fisika.
Pria yang memiliki hobi bernyanyi dan brenang ini banyak menelurkan tulisan terkait kebakaran, sejak masih duduk di bangku kuliah hingga sekarang ini. Tak terhitung jumlah tulisannya, baik yang diterbitkan di dalam negeri maupun luar negeri. (bersambung/Hasanuddin)