JAKARTA, HSEmagz.com – Kota ‘Pempek’ Palembang pada Minggu (7/7/2002), mendadak membara. Sebuah tempat hiburan, Heppi Karaoke, yang berada di tengah-tengah kota Palembang, Sumatera Selatan, terbakar hebat.
Saat kejadian, tempat hiburan malam itu tengah dipadati pengunjung. Tak pelak ketika kebakaran terjadi, para pengunjung dilanda kepanikan amat sangat.
Beberapa dari mereka nekat loncat dari ketinggian gedung enam lantai yang dikenal juga sebagai Gedung KTV itu.
Karaoke itu sendiri berada di lantai 3 sampai 6, sedangkan lantai 1 dan 2 difungsikan sebagai rumah makan oleh pemilik yang sama.
Kebakaran tersebut mengakibatkan 46 orang tewas, termasuk karyawan. Hampir seluruh korban ditemukan dalam kondisi amat mengenaskan dan nyaris tak bisa dikenali.
Djailudin alias Akung, pemilik rumah makan dan karaoke, divonis kurungan penjara selama 1,5 tahun pada 31 Maret 2005.
Baca juga: Prof Suprapto, Fisikawan yang Tertarik pada Sistem Proteksi Kebakaran (1)
Sebagai pemilik, Akun dinilai telah lalai lantaran tidak menyediakan fasilitas yang memadai untuk keamanan para pengunjung restoran dan karaokenya terhadap kemungkinan kebakaran.
Prof Suprapto bersama personel dari Kementerian PU (sekarang PUPR) terbang ke Palembang.
Menurut informasi yang didapat Suprapto, gedung yang terbakar itu semula berfungsi sebagai perkantoran. Namun sejak 1996 dibeli oleh seorang pengusaha dan dijadikan rumah makan dan karaoke.
Perubahan fungsi itu tidak diikuti dengan sistem proteksi kebakaran. Alhasil, ketika kebakaran terjadi, para korban tak bisa menyelamatkan diri. Sebagian mencoba menyelamatkan diri dengan cara meloncat dari ketinggian gedung.
Baca juga: Prof Suprapto, Kebakaran Bali Beach Hotel dan Misteri Kamar 327 (2)
“Kasihan sekali, banyak pengunjung yang menjadi korban pada kejadian tersebut. Kebetulan ketika itu ada rombongan dari Jakarta ke Palembang mampir ke tempat hiburan itu yang juga menjadi korban,” kata Suprapto.
Saat itulah, kata Suprapto, Menteri PU yang saat itu dijabat Djoko Kirmanto tegas mengatakan bahwa mulai saat itu jika terdapat perubahan fungsi bangunan dari kantor menjadi tempat hiburan atau fungsi lain, harus dilengkapi dengan sistem proteksi kebakaran.
“Lalu, munculah gagasan sistem proteksi itu harus berbasis potensi bahaya. Itu tulisan saya dalam bahasa Inggris yang disebut dengan sub unnormal. Jadi lihat potensi bahayanya, ada bahaya ruangan sedang dan berat,” kenang Suprapto.
Tak lama kemudian, lahirlah UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang diundangkan pada 16 Desember 2002.
Antara lain mengatur tentang fungsi bangunan gedung dan persyaratan keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kenyamanan.
Baca juga: Prof Suprapto, Sistem Proteksi Kebakaran Pasif Masih Kurang Diperhatikan (3)
Lima tahun kemudian, sebagai turunan dari UU No 28/2002, lahir lah Peraturan Menteri PUPR No 25/PRT/M/2007 tahun 2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung, yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri PUPR No 27/PRT/M/2018 dan kembali diubah pada 2020 menjadi Peraturan Menteri PUPR No 3/PRT/M/2020 tentang Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
Menurut Suprapto, kebakaran pun ada kebakaran jenis bangunan atau jenis hidrokarbon industri yang kurva temperaturnya berbeda.
Beruntung Indonesia memiliki arsitek Dr Asmito yang saat itu menyatakan pendapatnya dalam perspektif arsitektur dengan istilah nose every angle. Artinya, sangat bagus jika melihat banyak sudut sehingga banyak hal yang bisa diperhatikan.
Sedangkan gedung-gedung di Jakarta yang dibangun sebelum peraturan ini keluar, harus dilakukan evaluasi atau audit kemudian langsung dilakukan retrofitting (perkuatan/penambahan teknologi baru pada sistem lama).
“Saya ingat gedung-gedung tinggi di Prancis pada zaman Napoleon, tidak ada proteksinya. Tahun 1970-an ketika saya meninjau ke sana, sunggguh mengherankan gedung parlemen di Prancis tetap mempertahankan pola lama. Tapi kalau saya lihat di bawahnya ada jaringan kabel-kabel internet tanpa mengubah bentuk arsitektur bangunan. Jadi bisa retrofiting disesuaikan dengan peraturan yang baru,” Suprapto menambahkan.
Ketentuan SLF misalnya, di Prancis memang unik. Di tempat lain lift tidak boleh dipakai untuk mengevakuasi bangunan, tapi di Prancis dipakai karena pekerjaan bisa lebih cepat.
“Tapi kabelnya benar-benar dibungkus sedemikian rupa. Ini tantangan buat kita, gedung-gedung tinggi kalau menurut pemerintah daerah tidak boleh pakai lift. Lift hanya untuk transportasi, tapi kalau kebakaran don’t use lift, in case of emergency. Nah ini bagaimana? Kalau gedung semakin tinggi, sesungguhnya jutsru lift lah sebagai sarana penunjang yang paling penting. Ini tantangan bagi ahli—ahli instalasi mesin atau ahli elektro,” pungkas Suprapto. (bersambung/Hasanuddin)