HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Calendar Events Safety, Health, & Environtment

Ini Alasan Buruh Tak Menyuarakan K3

JAKARTA, HSEmagz.com – Berdasarkan catatan BPJS Ketenagakerjaan, setiap hari rata-rata 7 – 8 pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja (KK).

Sedangkan 19 pekerja lainnya setiap hari mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. Belum lagi pekerja yang menderita karena penyakit akibat kerja (PAK), yang datanya masih kurang terekspose namun diyakini tak kalah banyaknya dengan kasus KK.

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tak hanya akan melahirkan penderitaan bagi korban yang mengalami maupun keluarga korban yang ditinggalkan.

Lebih dari itu, kecelakaan kerja berpotensi mendongkrak angka kemiskinan, merugikan perusahaan/tempat kerja dan bahkan negara.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat kecelakaan-kecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja setiap tahun mencapai lebih dari 1.25 triliun USD atau setara 4% dari Produk Domestik Bruto (GDP). Sebuah angka yang tidak lah kecil.

Kendati demikian, aspek K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sebagai upaya mencegah terjadinya KK dan PK, belum dianggap penting oleh para pekerja itu sendiri.

Hal ini terindikasi dari tidak disuarakannya K3 oleh kaum buruh di setiap peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day. Tak terkecuali di peringatan May Day yang jatuh pada Senin (1/5/2023) hari ini.

Baca juga: K3 Perlu Terus Diperjuangkan Kaum Buruh

Lantas, kenapa kaum buruh tidak menjadikan K3 sebagai salah satu agenda dalam tuntutannya?

“Isu K3 masih ketutup oleh isu-isu yang lebih mendasar, terutama kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” kata Irham Ali Saifuddin, Presiden Konfederasi Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia) saat dihubungi HSEmagz.com, Senin (1/5/2023).

Kebijakan dimaksud Irham terkait regulasi. Pada peringatan Hari Buruh Internasional kali ini, kata Irham, Sarbumusi menyoroti tiga regulasi.

Yaitu UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, dan RUU Kesehatan (Omnibus Law).

Irham memberikan alasan, karena inklusi kesejahteraan buruh harus menjadi tumpuan orientasi utama bagi negara dalam membuat kebijakan pembangunan ekonomi nasional.

Irham pun mendorong pemerintah dan semua pihak terkait agar hendaknya menjadikan buruh sebagai salah satu pilar utama dari agenda kebangkitan perekonomian nasional.  Sebab kini perekonomian nasional telah tumbuh mencapai lebih dari 5 persen.

“Hal ini seiring dengan pemulihan perekonomian nasional yang sempat mengalami kontraksi hingga -2,07 persen pada 2020 dan kini telah tumbuh hingga 5,31 persen,” kata Irham.

Terkait K3, Irham memandang bahwa secara normatif isu K3 relatif dicakup oleh kebijakan yang cukup baik.

“Walaupun masih banyak lobang sana-sini dalam tingkat implementasi yang butuh enforcement,” katanya.

Baca juga: K3 Tak Pernah Jadi Agenda Tuntutan Buruh

Pernyataan Sikap Konfederasi Sarbumusi

Berikut Pernyataan Sikap Konfederasi Sarbumusi pada Hari Buruh Internasional 2023:

  1. Seiring dengan pemulihan perekonomian nasional yang sempat mengalami kontraksi hingga -2,07 persen pada tahun 2020, dan kini telah tumbuh hingga 5,31 persen, pemerintah dan semua pihak hendaknya menjadikan buruh sebagai salah satu pilar utama dari agenda kebangkitan perekonomian nasional;
  2. Inklusi kesejahteraan buruh harus menjadi tumpuan orientasi utama bagi negara dalam membuat kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Karenanya Konfederasi Sarbumusi menolak segala upaya dan kebijakan apapun yang bertolak belakang dari hal tersebut, termasuk UU Nomor 6 tahun 2023, Permenaker Nomor 5 tahun 2023 dan RUU Kesehatan;
  3. Menuntut kepada pemerintah untuk memperkuat perlindungan buruh rentan seperti buruh migran, pekerja rumah tangga, buruh informal dan anak buah kapal (ABK) melalui penguatan instrumen kebijakan yang inklusif dan protektif, seperti pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga, ratifikasi Konvensi ILO No 189 tentang Pekerja Rumah Tangga, ratifikasi konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, serta perluasan jaminan sosial universal bagi buruh rentan;
  4. Menuntut kepada pemerintah untuk segera mempersiapkan petajalan dan strategi nasional bagi penguatan keterampilan buruh (national workers’ skills development roadmap and strategy), terutama untuk menjawab tuntutan dunia kerja ysng terus berubah di masa depan (future of work) dan memperkuat program kebijakan yang adaptif terhadap persoalan-persoalan dunia kerja di masa depan. Salah satunya adalah melalui alokasi APBN untuk agenda pembangunan ketrampilan buruh nasional. Hal ini teramat penting mengingat pertumbuhan angkatan kerja nasional tumbuh hingga 2 kali lipat dari penyerapan tenaga kerja di sektor formal setiap tahunnya. Agenda ketrampilan nasional akan menghindarkan kaum buruh dari prekariasi dan marjinalisasi yang lebih jauh dari agenda ekonomi nasional;
  5. Menuntut pemerintah untuk melakukan penguatan perlindungan buruh dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, termasuk di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, dan garmen, serta sektor kelapa sawit yang menaungi jutaan buruh, melalui ratifikasi Konvensi ILO No 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja. (Hasanuddin)

 

LEAVE A RESPONSE