HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Calendar Events Education

Hari Ini 137 Tahun Lalu, Ketika 80 Ribu Buruh Turun ke Jalan…

JAKARTA, HSEmagz.com – Kaum pekerja di seluruh dunia kini tak perlu lagi bekerja seharian penuh seperti halnya pekerja yang hidup di pertengahan abad 19 dan masa-masa sebelumnya.

Saat ini, hampir seluruh negara di dunia memberlakukan jam kerja selama 8 jam dalam satu hari. Tapi dulu, jam kerja bisa mencapai 18 hingga 20 jam/sehari.

Tak terbayang bagaimana lelahnya bekerja pada masa itu hanya agar dapur bisa tetap ngebul. Tak terbayang bagaimana kala itu sibuknya pabrik-pabrik dan industri lainnya dalam beroperasi.

Pun tak terbayang bagaimana kaum pemilik modal pada saat itu mengeruk keuntungan besar dari hasil kerja keras para pekerja yang nyaris seharian bekerja di pabrik-pabrik dan mendapat upah tak seberapa.

Terdesak tuntutan perut, pekerjaan itu tetap dilakoni para pekerja, selama bertahun-tahun. Imbasnya, banyak pekerja yang jatuh sakit lantaran tenaganya benar-benar dikuras kaum pemilik modal hampir seharian penuh.

Tak sedikit pula yang meregang nyawa di tempat kerja lantaran mereka tidak bisa fokus bekerja karena kelelahan atau mengantuk.

Toh, pada akhirnya kaum pekerja berontak juga. Mereka merasa mendapat perlakuan tidak adil, baik dari kaum pemilik modal maupun pemerintah.

Kaum buruh bersatu. Pada 1884, kaum buruh di Amerika Serikat turun ke jalanan melakukan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut jam kerja selama 8 jam sehari.

Baca juga: K3 Tak Pernah Jadi Agenda Tuntutan Buruh

Tapi aksi itu berbuntut kerusuhan. Pihak kepolisian membubarkan masa dan bahkan melakukan aksi kekerasan. Belasan buruh kala itu dikabarkan terluka akibat perlakuan tidak semena-mena dari aparat kepolisian Amerika Serikat.

Toh, kaum buruh tidak jera apalagi lelah. Mereka tetap memperjuangkan tuntutannya untuk bekerja selama 8 jam/hari.

Pada 1 Mei 1886, sekitar 80.000 buruh di Chicago, Amerika Serikat melakukan aksi turun ke jalan dan kembali menyuarakan tuntutannya 8 jam kerja/hari. Terjadi kerusuhan di Haymarket di Chicago.

 

Dilansir dari laman Time edisi Jumat (28/4/2023),  ketika polisi berusaha untuk meredam aksi massa, ada oknum yang melempar bom molotov ke arah kerumunan polisi.

Tindakan itu membuat pihak kepolisian murka dan langsung mengeluarkan tembakan. Kerusuhan pun pecah.

Dalam insiden itu, dilaporkan tujuh petugas polisi tewas sedangkan dari kaum buruh sekitar 4 – 8 orang meregang nyawa. Sementara korban luka dari kaum pekerja mencapai 60 orang, yang rata-rata mengalami luka tembak di tubuhnya.

Aksi kaum buruh itu memaksa kaum pemilik modal menutup ribuan pabrik milik mereka lantaran tak ada pekerja yang bekerja.

Baca juga: K3 Perlu Terus Diperjuangkan Kaum Buruh

Penutupan ribuan pabrik itu berlangsung selama berhari-hari seiring aksi kaum buruh di jalan. Kaum pemilik modal, meradang. Penguasa, marah.

Pada 4 Mei 1886, setelah empat hari puluhan ribu melakukan aksi unjuk rasa sekaligus mogok kerja, penguasa menerjunkan aparat kepolisian.

Mereka menembaki para pekerja yang tengah berunjak rasa. Tanpa ampun. Ratusan buruh dikabarkan tewas dalam insiden ini.

Peristiwa yang terjadi di Amerika itu memicu kaum buruh di banyak negara, terutama di Eropa, untuk melakukan aksi serupa.

Pada 4 Juli 1889, bertepatan dengan jatuhnya Bastille sekaligus 100 tahun Revolusi Prancis, kaum buruh di Prancis berkumpul dan mengeluarkan resolusi.

Isinya antara lain bahwa Kongres memutuskan untuk mengorganisir sebuah demonstrasi internasional yang besar, sehingga di semua negara dan di semua kota pada satu hari yang telah ditentukan, rakyat pekerja akan menuntut pihak berwenang/negara tentang pengurangan hari kerja menjadi delapan jam, serta melakukan keputusan-keputusan yang lain dari Kongres Paris. Para pekerja dari berbagai negara harus mengorganisir demonstrasi ini sesuai dengan kondisi yang berlaku di setiap negara

Resolusi itu terkait hasil konvensi Federasi Tenaga Kerja Amerika pada Desember 1888 di St Louis, bahwa tanggal 1 Mei diputuskan sebagai hari para pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya, yang saat itu soal jam kerja.

Baca juga: Ini Alasan Buruh Tak Menyuarakan K3

Peringatan May Day di Indonesia

Sejak itu, setiap tanggal 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day. Bagaimana dengan situasi di Indonesia?

Berdasarkan penelusuran, sejarah May Day di Indonesia dimulai sejak 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee.

Seorang tokoh sosialis dari Belanda, Adolf Baars, dalam tulisannya mengungkapkan bahwa kaum buruh tidak mendapatkan upah yang layak dan tanah milik kaum buruh dijadikan perkebunan dengan harga sewa tanah yang terlalu rendah.

Para buruh kereta api pun melakukan aksi mogok karena saat itu mendapat pemotongan gaji, yang diperparah dengan ancaman pemecatan bila para buruh tidak segera menghentikan aksi mogoknya.

Hal ini mendorong peringatan Hari Buruh di Indonesia ditiadakan pada tahun 1926. Namun, 20 tahun kemudian atau pada 1 Mei 1946, Pemerintahan Sutan Sjahrir kembali memberikan izin untuk perayaan Hari Buruh di Indonesia.

Pada 1 Mei 2013, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI, menetapkan bahwa Hari Buruh Internasional sebagai hari libur nasional di Indonesia. (berbagai sumber/Hasanuddin)

 

LEAVE A RESPONSE