HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Calendar Events Safety, Health, & Environtment

K3 Perlu Terus Diperjuangkan Kaum Buruh

JAKARTA, HSEmagz.com – Hari ini, Senin (1/5/2023), diperingati sebagai Hari Buruh Internasional (May Day). Pada setiap peringatannya, kaum buruh turun ke jalan guna menyuarakan aspirasi mereka.

Di Indonesia, saat ini tengah berlangsung aksi para buruh. Mereka baru saja melakukan aksi di depan Istana Kepresidenan dan gedung Mahkamah Konstitusi (MK).  Dari sini ribuan buruh akan bergerak ke Istora Senayan guna memperingati May Day Viesta.

Dalam aksinya kali ini, ada tujuh tuntutan yang disuarakan kaum buruh Indonesia. Yaitu:

  1. Cabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker.
  2. Cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen karena membahayakan demokrasi yang kita kenal.
  3. Sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga.
  4. Tolak RUU kesehatan
  5. Reforma agraria dan kedaulatan pangan. Tolak bank tanah, tolak impor beras kedelai dan lain-lain.
  6. Pilih capres yang pro buruh dan kelas pekerja. Partai buruh haram hukumnya berkoalisi dengan parpol yang mengesahkan UU Ciptakerja.
  7. HOSTUM, hapus out scorsing tolak upah murah.

Dari tujuh tuntutan itu, aspek K3 sama sekali tak disinggung dan menjadi agenda tuntutan. Bukan kali ini saja, tetapi berdasarkan pengamatan HSEmagz.com, K3 memang tidak pernah menjadi agenda tuntutan kaum buruh selama ini.

Padahal, sebagaimana data BPJS Ketenagakerjaan/BPJamsostek, kasus kecelakaan kerja cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun sebagaimana tabel berikut ini.

DATA KASUS KECELAKAAN KERJA TINGKAT NASIONAL (BPJS-Tk)

 

TAHUN

JUMLAH KASUS KEC KERJA  

MENINGGAL

CACAT

PERMANEN

CACAT SEBAGIAN CACAT FUNGSIONAL  

SEMBUH

2001 104.714 1.768 230 4.923 7.353 90.440
2002 103.804 1.903 393 3.020 6.932 91.556
2003 105.846 1.748 98 3.167 7.130 93.703
2004 95.418 1.736 60 2.932 6.114 84.576
2005 99.023 2.045 80 3.032 5.391 88.475
2006 95.624 1.784 122 2.918 4.973 85.827
2007 83.714 1.883 57 2.400 4.049 75.325
2008 93.823 2.124 44 2.547 4.018 85.090
2009 96.134 2.114 42 2.713 4.330 87.035
2010 98.711 2.191 36 2.550 4.601 89.873
2011 94.491 2.218 34 2.722 4.130 90.387
2012 103.052 2.332 35 2.689 3.861 94.135
2013 103.285 2.438 44 2.693 3.985 94.125
2014 105.182 2.375 43 2.616 3.618 96.530
2015 110.285 2.308 5 810 1.166 105.996
2016 101.367 2.382 28 2.535 4.202 92.220
2017 123.041 3.173 5 1.542 1.114 117.207
2018 173.015 2.575
2019 210.789 4.007
2020 221.740 3.410 9* 4.275*
2021 234.270 6.552
2022 265.334**

Sumber BPJS-Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan.(Diolah Hasanuddin)

*) Data Januari-Oktober 2020

**) Data Januari –November 2022

Berdasarkan catatan BPJS Ketenagakerjaan, setiap hari rata-rata 7 – 8 pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Sedangkan 19 pekerja lainnya setiap hari mengalami cacat akibat kecelakaan kerja.

Atas kecelakaan kerja tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pada 2021 telah menggelontorkan fulus sebesar Rp1,79 triliun untuk membayar klaim kecelakaan kerja (JKK) dan kematian (JKM). Jumlah ini meningkat 14,97% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp1,56 triliun.

Baca juga: K3 Tak Pernah Jadi Agenda Tuntutan Buruh

Lantas, kenapa K3 tidak pernah menjadi agenda tuntutan kaum buruh?

Dianggap Belum Jadi Hak Asasi Buruh

Menanggapi hal ini, Abdul Hakim dari ILO Indonesia-Timor Leste menjelaskan beberapa alasannya, yang disebutnya sebagai pendapat pribadi.

Sepanjang pemahamannya, Hari Buruh 1 Mei memang menjadi ajang untuk para pekerja/buruh menyuarakan sesuatu yang dampak negatifnya paling cepat diketahui  dan rasakan.

Hakim menyebut upah, waktu kerja, outsourcing, serta hak-hak yang menyangkut pribadi pekerja/buruh merupakan contoh dari suara atau advokasi itu. Dan ini disuarakan hampir semua pekerja/buruh yang ikut dalam aksi Hari Buruh.

“Tahun ini, mayoritas peserta aksi juga menyuarakan tentang tiadanya pelibatan pekerja/buruh yang mendalam pada perumusan UU tentang Cipta Kerja. Ini terjadi karena pengetahuan dan perasaan mereka terhadap isu sangat terbatasnya pelibatan mereka dalam penyusunan UU tersebut begitu tinggi,” kata Hakim saat dihubungi HSEmagz.com, Senin (1/5/2023).

Kendati demkian, Hakim mengaku pernah melihat dan mendengar isu-isu lain, seperti K3, perburuhan anak, dan bahkan jaminan sosial pernah disuarakan. Bedanya, jumlah yang menyuarakan isu-isu ini jauh lebih sedikit.

Hakim mengemukakan beberapa alasan kenapa K3 belum menjadi agenda penting tuntutan kaum buruh. “Ini pendapat pribadi saya,” katanya.

  1. Isu-isu ini (K3) dianggap tak mewakili pengetahuan dan perasaan mereka atau bahkan tempat kerja mereka. Tak ada isu K3, misalnya, karena perusahaan dianggap sudah menerapkan hal yang baik, sehingga mereka tak perlu perjuangkan lagi.
  2. Atau, buat mereka isu K3 adalah isu kelompok lain (perusahaan atau P2K3 saja).
  3. Atau,  K3 masih dianggap bukan sebagai suatu hak asasi bagi pekerja/buruh dan semua orang dalam dunia kerja.

Karenanya, Hakim melanjutkan, pelibatan semua pekerja/buruh dalam menentukan penetapan wilayah kerja mereka sebagai suatu tempat yang aman dan sehat bagi semua orang yang ada di dalamnya (termasuk manajemen, pemilik dan investor) menjadi suatu hal yang penting dilakukan.

Juga, penting bagi pemerintah untuk memberikan contoh dalam menerapkan K3 di dalam tempat kerja mereka.

Dengan demikian, tempat-tempat kerja milik pemerintah atau sektor publik dapat menjadi contoh bahwa K3 adalah sesuatu yang penting dan perlu memberikan kenyamanan bagi siapapun.

Pemerintah, pekerja/buruh dan manajemen/pengusaha/investor perlu meyakini dan diyakinkan bahwa setiap orang saat berangkat bekerja, berada di tempat kerja, dan pulang bekerja berhak untuk tetap hidup, tak terluka dan sehat.

“Saat pengetahuan dan perasaan bahwa tetap hidup, tak terluka dan sehat itu adalah hak,” pungkasnya. (Hasanuddin)

 

 

LEAVE A RESPONSE