HSEMagz

Bukan Sekedar Berita

Insight Personal

Supandi, Banyak Belajar dari Budaya Masyarakat Jepang (4)

JAKARTA, HSEmagz.com – Perkenalan Supandi dengan dunia K3 dimulai ketika selepas SMA melanjutkan studi ke Akademi Industri Militer tahun 1972.

Ayahnya memang seorang militer sehingga kedisiplinan, ketegasan, dan keteraturan sudah mengalir dalam darah Supandi sejak usia dini.

Di Akademi Industri Militer, ia belajar antara lain tentang pembuatan mesiu, senjata, amunisi, yang bersinggungan dengan aneka risiko dan bahaya.

Supandi mencontohkan dalam pembuatan mesiu, ada namanya ilmu perapian. Dalam memroduksi mesiu, ada benda tergesek sedikit saja, akan memimbulkan percikan api dan akan memicu terjadinya ledakan dan kebakaran.

Di bangku kuliah, secara tidak disadari, Supandi dituntut untuk selalu berhati-hati dalam setiap langkah yang diambil.

Di sinilah Supandi muda mulai memahami betapa pentingnya aspek K3. Selain memang ada satu mata kuliah tentang Keselamatan Kerja, juga karena tuntutan lingkungan kuliah.

Kebetulan waktu itu, UU Keselamatan Kerja baru diundangkan pemerintah yaitu UU No 1 tahun 1970. Mata kuliah ini diajarkan oleh para dosen berkebangsaan asing dan bagi mereka K3 sudah menjadi bagian yang utama.

Baca juga: Supandi, Mabuk Ikan Patin (1)

Supandi memperdalam ilmu K3 yang diperolehnya di bangku kuliah, dengan membaca sejumlah buku tentang K3 karangan Dr dr H Suma’mur PK. Diakuinya, pendidikan K3 diperoleh secara tidak sengaja.  Tetapi lahir dari tuntutan lingkungan dan sekolah, yang lambat laun menjadi darah daging bagi Supandi di tahun-tahun kemudian.

Selepas Akademi Industri Militer, ayah dua anak ini justru tidak berkarier sebagai militer sebagaimana mendiang ayahnya.

Ia memilih untuk bekerja  di Metal Industries Development Center Bandung yang merupakan lembaga bentukan kerjasama Indonesia dan Belgia.

Di sini, selama tiga tahun (1975 – 1978), ia benar-benar merasakan bagaimana bekerja dengan orang luar yang kala itu penerapan K3-nya sudah maju.

Budaya kerjanya sudah menggunakan SOP yang ketat karena lingkup pekerjaan di kantor tersebut sangat bersinggungan dengan berbagai risiko dan bahaya seperti pengelasan (welding), pengecatan logam, dan sebagainya yang merupakan pekerjaan berisiko tinggi (high risk).

Pengetahuan dan pemahaman K3 Supandi makin terasah. K3 lantas menjadi bagian dari pakaian keilmuan Supandi. Supandi muda juga melanjutkan studi dengan mengambil kuliah Teknik Metalurgi di salah satu perguruan tinggi di kota Bandung.

Meski tak secara langsung bersekolah tentang ilmu K3, toh berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya, pada 1986 Supandi mulai aktif mengajar di STTIB yang kini bernama Universitas Jenderal Achmad Yani di Cimahi, Bandung.

Baca juga: Supandi, Hakikat K3 Adalah Memanusiakan Manusia (2)

Kala itu K3 masih merupakan mata kuliah khusus dan belum peminatan. Tahun 1983 Supandi diterbangkan ke Jepang oleh perusahaan tempatnya bekerja untuk belajar manufaktur yang di dalamnya banyak terdapat standar-standar K3. Sebelumnya, ia banyak dikursuskan tentang K3 oleh perusahaan yang sama.

Supandi muda (kanan) saat di Jepang di pertengahan tahun 1970-an. (Foto: Repro Hasanuddin)

“Jadi saya bukan belajar khusus K3 tetapi dilahirkan untuk terus menggunakan K3 karena semua pekerjaan saya berbasis risiko di atas rata-rata,” katanya sambil tersenyum.

Saat terbang ke Jepang, Supandi tidak kaget ketika melihat budaya masyarakat Jepang yang sudah menerapkan aspek HSE secara ketat.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana masyarakat Jepang mendidik anak-anak mereka sejak dini untuk bisa hidup mandiri dengan tidak melakukan antarjemput ke dan dari sekolah.

Bagaimana anak-anak di Jepang sudah diajarkan tentang tata cara makan, membuang sampah pada tempatnya, disiplin, dibiasakan antre, menghormati orang, dan segala sendi kehidupan sehari-hari lainnya.

Semua hal yang tampaknya sederhana itu justru akan menjadi cikal-bakal bagaimana budaya K3 akan terbentuk pada setiap individu di Jepang di kemudian hari.

Selain itu, sepanjang perjalanannya, Supandi juga banyak terlibat dalam kegiatan lingkungan dan sosial secara langsung.

Misalnya terlibat dalam proyek Pengembangan Masyarakat Dayak Kalimantan Timur dan Pengembangan Masyarakat Perani Akar Wangi, Garut.

Belum lagi keterlibatannya dalam berbagai standardisasi di Tanah Air. Supandi pun pernah menjabat sebagai Kepala Balai Riset dan Standardisasi Banjarbaru Kalimantan Selatan (2002 – 2004).

Lalu, dari sini ditarik menjadi Kepala Bidang Sertifikasi di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Bandung (2004 – 2006).

Baca juga: Supandi, K3 Urusan dan Tanggung Jawab Kita Semua (3)

Berbekal pengetahuan dan pengalaman itu pula Supandi banyak terlibat dalam berbagai standardisasi baik di tingkat nasional maupun internasional seperti keterlibatannya dalam ISO 45000 series.

Supandi juga masih berkegiatan dalam bidang standardisasi sejak 2015 dengan menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) dan sebagai anggota Komite Kebijakan Pengembangan Standar (KKPS).

Disamping itu Supandi juga menjadi anggota Komite Teknik yang menangani standarisasi K3L. Pada 2016  hingga 2018 menjadi juri SNI Award, lalu juri berbagai award di bidang K3.

Sejak 2012 hingga Maret 2023, ia didapuk menjadi Direktur Utama PT Unilab Perdana, sebuah laboratorium lingkungan pertama dan terbesar di Indonesia. Selepas Unilab, kini ia dipercaya untuk mengembangkan usaha yang bergerak di bidang peralatan K3L. (bersambung/Hasanuddin)

 

LEAVE A RESPONSE